top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

11 Perempuan Hebat Pembela HAM di Indonesia


Sumber foto : Flickr


Perempuan dengan segala stigma yang melekat didalamnya berhak mendapat hak yang sama sebagai manusia. Hal tersebut merupakan implikasi dari Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak yang melekat dalam diri seseorang sejak ia lahir. Namun terkadang perempuan khususnya tidak mendapatkan hak-hak nya.


Maka dari itu munculah perempuan-perempuan yang memperjuangkan HAM. Tidak hanya berjuang untuk perempuan saja, namun perempuan pembela HAM berjuang demi kemanusiaan yang adil dan beradab.


Definisi tentang perempuan pembela HAM tidak berbeda dengan pembela HAM sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Pembela HAM tahun 1998. Siapa pun yang melakukan aktivitas perlindungan, penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM secara sendiri maupun bersama dengan cara damai merupakan pembela HAM.


Namun yang membedakannya adalah, perempuan pembela HAM merupakan pembela HAM yang mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan. Definisi tersebut menitikberatkan bahwa pembela HAM bukanlah profesi, melainkan lebih kepada aktivitas pembelaan HAM yang menjunjung nilai-nilai universal dan non-kekerasan.


Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan penghormatan kepada para perempuan hebat pembela HAM dalam acara peringatan 22 tahun Hari Lahir Komnas Perempuan, yang jatuh pada 28 Oktober 2020 yang lalu.


Berikut merupakan perempuan-perempuan hebat pembela HAM yang diberikan penghormatan oleh Komnas Perempuan, dilansir dari tempo.co.


1. Estu Fanani

Estu pernah menjabat sebagai Direktur LBH APIK Jakarta, dan berkiprah di lembaga tersebut sejak tahun 2002 hingga 2010. Lulusan Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro ini dinilai konsisten dan gigih bekerja untuk mendukung perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan.

Sejak Desember 2019, Estu mulai sakit dan kondisinya memburuk sejak februari 2020 karena sindrom Mielodisplasia yang dideritanya. Estu berpulang di usia 46 tahun di 2020 ini.


2. Ratih Purwarini

Dokter Ratih bergabung dengan Komnas Perempuan sebagai relawan sejak Oktober 2014 hingga November 2017. Ia meninggal karena tertular Covid-19. Di akhir hayatnya, Dokter Ratih masih menjabat sebagai Direktur RS Duta Indah Jakarta Utara dan sebagai anggota IDI Cabang Jakarta Timur.


3. Rosniati


Rosniati atau Nia aktif di dalam berbagai kegiatan sosial sejak masa perkuliahan. Ia memilih jalan perjuangan untuk hak-hak perempuan dengan bergabung sebagai anggota Solidaritas Perempuan (SP) Palu pada 2007.


Di akhir 2019, perempuan asal Palu, Sulawesi Tengah, itu mulai berjuang melawan kanker payudara yang dideritanya. Hingga akhirnya Tuhan memanggil Nia pada September 2020.


4. Nurhidayah Arsyad

Sejak mahasiswa Nur dikenal sebagai aktivis dan aktif di Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia dan Kohati di Makassar dan bergabung bersama Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulawesi Selatan.


Nur hijrah ke Jakarta pada tahun 2002 dan memulai aktivitasnya sebagai jurnalis dan melanjutkan perjuangannya di dunia gerakan perempuan. Nur merupakan anggota dan Pengurus Solidaritas Perempuan Jabotabek selama 10 tahun.


Pada saat meninggal 2019, Nur bekerja di Sajogyo Institut untuk isu perempuan dan agraria dan sebagai Ketua Pendidikan dan Pengorganisasian Nelayan Perempuan DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).


5. Ibu Den Upe Rambelayuk

Ibu Den merupakan Koordinator Dewan Aliansi Masyarakat Adar Nusantara (AMAN) periode 1999-2003, Anggota DAMANNAS 2003-2012 dan komunitas adatnya tergabung di BPH AMAN Toraja. Perjuangan Ibu Den Upa membentuk organisasi Masyarakat Adat telah dilakoni sejak tahun 80an. Ibu Den turut mengawal lahirnya organisasi masyarakat adat terbesar di Indonesia, AMAN, di tahun 1999.


Ia wafat pada Maret 2019 secara tiba-tiba di Toraja, Sulawesi Selatan dalam usia 74 setelah merasa sesak dan kemudian drop.


6. Lily Dorianty Purba

Lily Purba pernah menjabat sebagai Perwakilan Indonesia di ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) pada tahun 2016 Lily merupakan konsultan gender yang saat itu bekerja sebagai ahli/penasihat di bidang gender bagi LSM Nasional dan Badan Pembangunan Internasional di Indonesia dengan memberikan masukan terkait kesetaraan gender untuk Program dan Proyek Pembangunan.


Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 1985 dan Master dalam Pembangunan dan Gender di University of East Anglia, Inggris tahun 1999 itu wafat pada 9 Februari 2019.


7. Yusan Yeblo

Mama Yusan Yeblo, tokoh perempuan Papua yang aktif di berbagai organisasi perempuan, 3 tahun berjuang dengan stroke yang menyebabkannya tidak bisa bergerak bebas dan beraktivitas seperti biasa. Dia merupakan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 1998 hingga 2004, anggota Forum Kerjasama (Foker) Papua, Pendiri Forum Kerja Sama masyarakat Irian Jaya (Foreri) dan Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua tahun 2007.


Mama Yusan juga pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Pokja Wanita Irian Jaya dan sebagai koordinator Jaringan Kerjasama Kesehatan Perempuan dan Anak kawasan Indonesia Timur (JKPIT). Mama yusan, wafat pada Maret 2019.


8. Tapi Imas Ihromi Simatupang

Beliau seorang intelektual dan aktivis perempuan, yang aktif membela kepelbagaian adat-istiadat di Indonesia. Ia berpendapat, penyeragaman hukum di Indonesia seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru hanya akan menimbulkan masalah di masyarakat.


Jenjang pendidikan ibu Tapi Omas S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selesai pada 1958, S2 di Universitas Cornell dan lulus dengan gelar M.A. dan di Universitas Harvard dalam bidang studi bahasa-bahasa Semit dan S3 di Universitas Indonesia. Tapi Omas ikut mendirikan jurusan Kajian Perempuan Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada 1979 bersama dosen UI perempuan lainnya. Ia wafat 5 Agustus 2018 dalam usia 88 tahun.


9. Eyang Sri Sulistyawati

Sri Sulistyawati atau kerap dipanggil dengan sebutan Eyang Sri, lahir di Cirebon. Ia merupakan seorang jurnalis di tahun 1950an dan bekerja di Koran Ekonomi Nasional. Pada masa itu, Eyang banyak menulis tentang kondisi ekonomi dan sosial politik di Indonesia.

Eyang dipenjara di Bukit Duri selama 11,5 tahun hingga 25 April 1979 baru dilepaskan.


Hari-hari setelah dalam penjara itulah hari-hari penuh dengan kekerasan, intimidasi dan diskriminasi yang tak pernah lepas dari hidupnya. Ia pernah mengalami pendarahan hebat karena disiksa. Sejak keluar dari penjara, sesekali ia masih sering menulis, melanjutkan sisa-sisa kisah kepedihan di dalam penjara.

Sakit radang usus telah menggerogoti Eyang Sri hingga akhir hidupnya. Eyang menghembuskan nafas terakhir tanggal 26 April 2018 di RS Carolus pada usia 78 tahun.


10. Cut Risma Aini

Selama hidupnya, Cut Risma aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai konteks. Bersama Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh, dia aktif mengadvokasi hak perempuan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, hingga memperjuangkan hak perempuan dalam ruang publik dan demokrasi.


Cut Risma pernah menjadi Kepala Divisi Penguatan Organisasi Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan sejak 2004 - 2006 dan kembali ke Aceh untuk memperkuat perempuan korban gempa dan tsunami.

Cut Risma Aini terakhir menjadi anggota Dewan Pengawas Komunitas SP Aceh sejak Desember 2017 hingga akhir hidupnya. Ia wafat pada 2018 silam.


11. Christina Sumarmiaty

Christina alias Mbah Mamik merupakan perempuan pembela HAM yang menjadi salah satu korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh Polisi Militer tahun 1967. Mbah Mamik ditangkap dan disiksa dalam tahanan agar mengakui diri sebagai anggota Partai Komunis.

Dia aktif di berbagai kegiatan setelah runtuhnya rezim orde baru, dan tahun 2015 beliau menghadiri International People’s Tribunal 65 di Belanda dan memberi kesaksian di sana. Ia wafat pada 2019 dalam usia 73 tahun.


Penulis : Giga Baskoro

Editor : Hammam Izzuddin


57 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page