sumber foto : PV Torch
Perliaku internalisasi misoginis secara tidak sadar menjadi sebuah kebiasaan yang ternyata hal itu bisa dikategorikan sebagai “racun” dalam diri. Karena, perilaku ini membawa dampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain.
Internalisasi misoginis sendiri adalah perilaku atau sikap kebencian terhadap perempuan yang tidak disadari, dan juga sikap untuk merendahkan perempuan. Hal ini biasanya dilakukan oleh para perempuan yang tidak memiliki standar yang sama dengannya. Misoginis dapat berupa diskriminasi seksual, objektifikasi, dan juga kekerasan terhadap perempuan.
Karakter seseorang yang memiliki perilaku seperti ini dapat dilihat ketika ia menempatakan dirinya berada di posisi yang superior atau memiliki pengaruh yang besar terhadap lingkungannya. Selain itu, ia menganggap dirinya lebih baik daripada perempuan lainnya, dan jika tidak sependapat akan merendahkan bahkan membenci perempuan lainnya.
Ketua Umum KOPRI Komisariat Sunan Ampel Malang Siska Nihayatul Khusna menjelaskan mengenai pengalamannya dalam melihat kejadian misoginis. Ia melihat banyak organisasi yang mengatasnamakan feminis pejuang keadilan, kemanusiaan dan kesetaraan gender. Namun faktanya banyak dari mereka juga yang menyudutkan perempuan lain yang tidak sepemikiran dengan organisasi tersebut.
Contoh sederhana yang sering dijumpai adalah perilaku mengatur dan menentukan standar tersendiri, padahal standar setiap orang tidaklah sama. Dalam hal kecantikan misalnya, stigma perempuan harus mahir menggunakan make up untuk memenuhi standar kecantikan dalam masyarakat. Ketika ia gagal memenuhi kriteria tersebut maka ia akan menjadi bahan olok-olok para pelaku misoginis.
Dalam kasus yang sama, perempuan yang memiliki standar make up natural akan menganggap bahwa perempuan yang ber make up tebal dicap sebagai perempuan penggoda. Padahal, menggunakan make up merupakan kebebasan setiap perempuan entah mau tebal, tipis, atau bahkan tidak menggunakan sama sekali.
Selain itu perkataan yang sering muncul adalah “aku itu nggak kaya cewe lain yang suka make up”, “Jangan baperan dong jadi cewe” dan lain-lain. Secara tidak sadar mengatakan hal tersebut sudah memasuki internalisasi misoginis, dan ternyata hal tersebut banyak dilakukan oleh para perempuan sendiri.
Perilaku internalisasi misoginis seperti ini haruslah mulai kita sadari dalam diri pribadi, tidak perlu melakukan judgemental kepada siapapun yang memiliki perbedaan sifat maupun perilaku, terlebih kepada sesama perempuan. Tugas sesama perempuan adalah saling menguatkan dan mendukung, bukan malah menjatuhkan, tidak lupa pula belajarlah untuk saling menghargai satu sama lain.
Penulis : Rizki Ardandhitya
Editor : Fatika Febrianti
Commenti