top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Eksistensi Perempuan dalam Aksi Demonstrasi


Demonstrasi kerap mewarnai jalannya proses demokrasi di Indonesia. Meski kadang terjadi kericuhan, demonstrasi tetap menjadi pilihan bagi beberapa elemen masyarakat untuk menunjukan ketidakpuasan akan kinerja wakilnya di parlemen. Di balik aksi demonstrasi yang identik dengan kehadiran laki-laki, terselip cerita para perempuan yang berusaha untuk menyampaikan aspirasinya di depan publik.


Kiasati Kania salah satunya. Mahasiswi UPN “Veteran” Jakarta tersebut mengikuti demo di Jakarta tahun 2019 lalu. Berbekal materi tuntutan, ia bersama rekannya berangkat dari Bekasi pada pukul 12 siang. Meski belum pernah mengikuti aksi sebelumnya, perempuan berumur 21 tahun tersebut tidak ragu untuk terlibat dalam aksi demonstrasi.


“Saya bersama beberapa teman mahasiswa baru berangkat pada pukul 12. Terbilang agak terlambat sehingga kita hanya bisa melakukan aksi di dekat Gedung TVRI. Sesampainya di sana kita melakukan orasi. Aksi hanya sampai jam 5 karena keadaan mulai chaos. Mahasiswi yang turun akhirnya diperintahkan untuk mundur,” ujar mahasisiwi jurusan Manajemen tersebut.


Kias adalah satu dari ribuan perempuan yang memadati jalanan Kota Jakarta, 8 Oktober 2019 lalu. Meski berjumlah ribuan, jumlah partisipan perempuan masih kalah jauh dibandingkan partisipan laki-laki. Ancaman pelecehan dan kekerasan pun kerap menghantui para perempuan saat mengikuti demo.


“Kalo saya jujur gak takut sih. Saya yakin rekan-rekan saya akan menjaga ketertiban serta keamanan satu sama lain. Saya lebih takut kalo terjadi chaos dengan pihak kepolisian. Alhamdulillah saya tidak menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari orang lain,” ujar alumni SMAN 9 Bekasi tersebut melalui sambungan telepon.


Dirinya juga memuji seluruh perempuan yang berani terlibat dalam aksi demonstrasi. Menurutnya, tidak semua perempuan mau mengeluarkan tenaga untuk mengikuti aksi. Ia juga menambahkan bahwa dalam mengikuti aksi dibutuhkan nyali dan tenaga yang cukup besar mengingat kondisi yang tidak menentu.


Pengalaman serupa juga dialami oleh Nabila Risnanda Pratama. Mahasiswi Universitas Pancasila tersebut mengikuti demo UU Cipta Kerja pada Kamis (8/10). Perempuan yang akrab disapa Nabila tersebut melakukan longmarch dengan mahasiswa dari distrik selatan.


“Saya dan teman-teman mahasiswa melakukan longmarch secara damai 8 Oktober lalu. Sesampainya di tugu tani, saya mendapatkan kabar telah terjadi kebakaran di Polres. Saat berada di TKP, belum ada 20 menit, demonstran dipukul mundur oleh pihak kepolisian. Aksi hari itu berujung ricuh dan banyak perempuan yang diperintahkan untuk keluar barisan dan mundur terlebih dahulu,” ujarnya ketika dihubungi via Whatsapp.


Meskipun dirinya pernah mengikuti women’s march, ia tetap menyadari bahwa kekerasan dan pelecehan dapat terjadi dalam aksi demonstrasi. Perempuan yang kini genap berusia 20 tahun tersebut juga khawatir massa demonstran tidak dapat menjaga diri satu sama lain.


“Pastinya takut dan khawatir dengan hal-hal seperti pelecehan yang bisa terjadi dimana dan kapan saja. Selain takut tidak dapat menjaga diri dengan baik, saya juga takut tidak bisa menjaga teman perempuan yang lain,” ujar Alumni SMA Daya Utama Bekasi tersebut.


Mengingat banyaknya risiko yang harus dihadapi ketika mengikuti demo, ia mengapresiasi keterlibatan perempuan dalam proses demokrasi tersebut. Menurut Nabila, banyaknya jumlah perempuan yang menyuarakan pendapat di muka umum dapat meruntuhkan stigma yang selama ini melekat pada diri seorang perempuan.


“Masyarakat masih memiliki stigma terhadap hak bersuara perempuan. Kebanyakan masih menganggap hak suara yang kami (perempuan) miliki lemah dan terbatas. Aksi kemarin menunjukan perempuan pun mampu untuk menyuarakan aspirasi dan juga melawan,” tutur perempuan yang kini aktif menyuarakan isu kesetaraan gender tersebut.


Keterlibatan perempuan dalam demo juga mendapatkan apresiasi dari mereka yang tidak dapat mengikutinya. Sri Rahayu, seorang buruh yang tinggal di Jatimulya, Bekasi Timur mengaku tidak dapat mengikuti demo akibat larangan dari perusahaan tempatnya bekerja. Akan tetapi, ibu dari dua anak ini merasa terwakilkan oleh para perempuan yang turun ke jalan.


“Tahun lalu tidak bisa ikut demo karena terhalang izin dari bos saya. Akan tetapi, saya merasa tuntutan yang ingin saya sampaikan seperti hak cuti melahirkan sudah disuarakan oleh teman-teman mahasiswa dan buruh perempuan. Walaupun mungkin, suara teman-teman semua kadang tidak sampai ke wakil kami di DPR,” ujarnya ketika dihubungi via Line.


Sri juga berharap momentum demo kemarin dapat terus berlanjut. Sembari mengajak perempuan lain untuk berani turun aksi, ia juga mengingatkan kepada pihak yang melakukan aksi bahwa perjuangan tidak berhenti di sini.


Penulis : Mohammad Rizky Fabian

Editor : Annisya Asri

26 views0 comments

Comments


bottom of page