top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Krisis Multidimensi Kaum Perempuan dalam Catahu SP 2020


Aksi demonstrasi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan berbasis gender.

(Sumber: Cnn Indonesia)


Catatan Akhir Tahun (Catahu) Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan Tahun 2020 melaporkan bahwa tahun ini menjadi tahun krisis multidimensi bagi perempuan. Hal tersebut dikarenakan pandemi Covid-19 yang memunculkan masalah baru bagi perempuan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP), Arieska Kurniawaty pada Minggu (13/12).


Pandemi virus Covid-19 yang mengharuskan dilaksanakannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) meningkatkan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh waktu yang lebih banyak dihabiskan dengan berada di rumah dan melakukan pekerjaan rumah. Interaksi dengan anggota keluarga yang secara tiba-tiba meningkat juga menjadi alasan mengapa angka tersebut meningkat.


Pernyataan tersebut didukung oleh data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan yang menyatakan bahwa KDRT menjadi kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan selama masa pandemi. Terdapat 319 kasus kekerasan yang telah dilaporkan, dua pertiga dari angka tersebut merupakan kasus KDRT.


Data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga menunjukkan bahwa terdapat 110 kasus KDRT yang telah dilaporkan, sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam kurun waktu 3 bulan sejak 16 Maret sampai 20 Juni, angka kasus KDRT telah mencapai setengah dari angka kasus KDRT selama 2019.


Meski demikian, dilansir dari tirto.id, Arieska Kurniawaty mengatakan bahwa pandemi tidak hanya berpengaruh terhadap krisis kekerasan yang dialami perempuan saja. Akan tetapi, aspek kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik perempuan juga terpengaruh akibat pandemi.


“Bagi Perempuan tahun 2020 ini adalah tahun krisis multidimensi yang semakin menambah lapisan penindasan yang dialami termasuk bagaimana krisis ini memperkuat kekerasan dan ketidakadilan gender yang sudah ada sebelum krisis,” ujarnya saat memaparkan Catahu Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan Tahun 2020 secara virtual pada Minggu (13/12).


Berdasarkan data yang diunggah oleh The National Team for the Acceleration of Poverty Reduction (TNP2K), 74% tenaga kesehatan di Indonesia adalah perempuan. Hal ini menunjukan bahwa kesehatan perempuan berada di posisi yang rentan selama masa pandemi.


Selain kesehatan, ekonomi dan pendapatan juga masih menjadi masalah bagi kaum perempuan. Data yang diunggah oleh WHO menyatakan bahwa perempuan memiliki pendapatan 28% lebih rendah dari laki-laki. Hal tersebut diperparah oleh fakta bahwa perempuan lebih sulit untuk diangkat menjadi pegawai tetap.


Komentar pun berdatangan dari masyarakat terkait dengan Catahu SP 2020. Beberapa perempuan mengafirmasi masalah yang disampaikan di laporan tersebut.


Niken Aprillia, perempuan yang bekerja di perusahaan swasta di Jakarta tersebut mengatakan bahwa pandemi berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dan psikologi dirinya. Ia juga menyayangkan pemerintah yang kurang peduli tentang kondisi yang dialami perempuan ketika pandemi.


“Jujur, pandemi ini sangat berpengaruh buat psikologisku. Aku jadi gampang down dan susah untuk balikin moodnya. Mungkin karena selalu bekerja di rumah. Kalau dari ekonomi, yang paling terasa sih beberapa barang jadi naik harganya di pasar. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kondisi perempuan khususnya kelas menengah ke bawah selama pandemi,” ujar perempuan kelahiran Jakarta tersebut.


Perempuan yang akrab disapa Niken tersebut juga menyoroti pembahasan Rancangan Undang Undang cipta lapangan kerja (RUU cilaka) kala pandemik. Menurutnya, urgensi dari RUU tersebut masih jauh di bawah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.


“Pembahasan RUU cilaka juga menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah dan DPR lebih mengurusi investasi ketimbang kesejahteraan perempuan. Seharusnya, RUU PKS lebih diutamakan. Data yang diberikan oleh Komnas Perempuan tentang KDRT selama pandemik seharusnya menjadi alasan kuat mengapa UU tersebut harus disahkan,” ujar Niken ketika dihubungi via Line.


Menanggapi Catahu SP 2020, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) Venetia Ryck mengakui bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 banyak terjadi. Dirinya juga memberikan data angka kekerasan terhadap perempuan dari sistem informasi online perlindungan perempuan Kemen PPA.


“Data sistem informasi online perlindungan perempuan Kemen PPA berdasarkan pelaporan 20 Januari 2020 sampai dengan 12 Desember 2020 kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 6.642 kasus dengan korban perempuan dewasa 6.758 orang dan korban kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 4.040,” ujar Venetia Ryck dilansir dari tirto.id.


Penulis : Mohammad Rizky Fabian

Editor : Fatika Febrianti

9 views0 comments

Komentarze


bottom of page