top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Movie Review: Jemari yang Menari di Atas Luka-Luka, Sebuah Akhir Perjalanan Hidup Bagi Minoritas



Jemari yang Menari di Atas Luka-luka (2019) - berikutnya ditulis Jemari - film karya Putri Sarah Amelia seorang alumnus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang kini menjadi dosen tetap bagi almamaternya. Film Jemari dibangun dengan pertanyaan besar soal penampilan jenazah sebelum pemakaman.


Film ini bercerita tentang seorang perias jenazah yang diliputi kegundahan kala harus merias jenazah seorang transgender. Dengan eksplorasi tema yang cukup sensitif ini, film Jemari berhasil memenangkan kategori film pendek terbaik dalam perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 2020. Pertarungan keinginan antara orang tua dan seorang anak transpuan yang tak bernyawa, menjadi konflik tersirat yang dialami oleh sang perias.


Film dengan tema besar namun sederhana


Film ini sangat sederhana. Dengan mengambil set tempat dalam sebuah rumah, tepat nya dalam ruang tengah dan kamar tidur. Dibuka dengan shot dua orang perempuan yang saling duduk berhadapan di ruang tengah. Sang perias menyeruput teh sedang sang ibu merokok. Keduanya tampak diselimuti berbagai macam pikiran.


Kemudian sang perias beranjak menuju kamar. Di dalam kamar terdapat seorang jenazah laki-laki yang terbaring. Singkat nya sang perias diminta untuk merias, mendandani, dan memakaikan gaun sebelum pemakaman.


Pada awalnya sang perias bekerja sesuai dengan kehendak orang tua si anak transgender yang telah meninggal. Namun ketika hendak memakaikan gaun, sebuah lemari yang berisi bingkai-bingkai foto menampilkan sekelebat perjalanan masa lalu si anak transgender ini.


Ia dipaksa membuat keputusan. Akan seperti apa ia merias sang anak, apakah memakai gaun seperti yang diinginkan sang ibu atau dengan setelan jas sesuai dengan ekspresi gender si anak. Dalam waktu singkat sang perias harus segera memutuskan, sebab keadaan rumah sudah mulai ramai, sementara telepon genggam nya tak henti-hentinya berdering.


Jawaban mengenai hal tersebut di kupas perlahan dengan tata sinematografi yang pelan namun tegas. Gestur dari sang perias juga sangat jelas. Penjiwaan karakter yang tidak berlebihan namun pas menampilkan rasa sedih, khawatir, dan dilema yang dialami baik sang ibu maupun sang perias.


Film tanpa kata-kata namun sarat makna


Putri Sarah Amelia membuat film ini tanpa sedikitpun patah kata yang terucap. Ia ingin merepresentasikan kaum minoritas yang masih dibungkam. Lewat isu transgender ini ia membawa pertanyaan tentang apakah orang terdekat kita akan menerima pilihan serta jalan hidup yang diambil anaknya, meskipun ia telah meninggal.


Film ini begitu bisu, tapi isu yang disuarakan sangat nyaring terdengar dan santer dibicarakan. Kaum minoritas terpaksa harus terus-menerus menelan pil pahit, karena tidak hanya problemnya dianggap angin lalu, tetapi mereka juga dipaksa menyesuaikan diri dengan apa yang sudah menjadi lumrah bagi kelompok mayoritas.


Hal ini menjadi semakin pelik ketika para minoritas yang identitasnya belum diakui secara sosial ini kemudian mengakhiri perjalanan hidupnya di dunia. Ketika mereka sudah tidak punya lagi kendali atas tubuhnya, apakah identitas yang dipercayainya ketika hidup tetap bisa dihargai ketika dia meninggal, ataukah dia dipaksa untuk menyerah pada keputusan sosial, termasuk keluarga terdekat untuk menentukan jati dirinya, baik pada jati diri yang dianggap sebagai kodrat, atau pada jati diri yang telah diakui negara.


Penulis : Giga Baskoro

Editor : Fatika Febrianti

26 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page