Greta Thunberg, Aktivis lingkungan asal Swedia.
(Sumber: Wikipedia)
Perubahan iklim menjadi topik yang sering dibicarakan sejak awal tahun lalu. Kebakaran di
Australia serta California, Amerika Serikat menandakan ada yang salah dengan cara manusia
memanfaatkan lingkungan. Nama Greta Thunberg mencuat atas aksinya menunutut
pengurangan emisi karbon di depan Parlemen Swedia. Greta merupakan satu dari sekian
banyak perempuan yang berusaha melindungi bumi dari kerusakan lingkungan.
Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg lahir di Stockholm, Swedia pada tanggal 3 Januari
2003. Pada usia 15 tahun, Greta telah melakukan aksi protes di luar Gedung Parlemen
Swedia. Ia melakukan mogok sekolah setiap hari jumat karena tidak puas dengan politisi
dunia yang masih acuh dengan perubahan iklim.
Greta mengajak para pelajar lainnya untuk berpartisipasi dalam demo mingguannya. Gerakan yang awalnya hanya ia hadiri sendiri kini menjadi gerakan masif dan dilakukan di berbagai belahan dunia. Gerakan yang diberi nama ‘Fridays for Future’ tersebut pun mengundang perhatian dari media massa.
Perempuan yang memilih untuk menjadi vegetarian tersebut diundang untuk menjadi pembicara dalam U.N Climate Action Summit pada tanggal 23 september 2019. Greta menempuh perjalanan dari Inggris ke Amerika Serikat selama 14 hari menggunakan perahu layar. Hal tersebut ia lakukan karena ia menolak menggunakan pesawat terbang dengan alasan emisi karbon yang dihasilkan membahayakan lingkungan.
Pidato yang disampaikan Greta pada U.N Climate Action Summit 2019 viral di media sosial. Pidato tersebut menyinggung tentang acuhnya para pemimpin dunia terhadap sains dan data dari para ilmuwan. Dirinya juga menambahkan, generasi muda akan mengawasi kebijakan yang diambil oleh para pemimpin dunia.
“Anda semua telah mengambil mimpi dan masa kecilku. Orang-orang kesusahan dan sekarat. Seluruh ekosistem sedang berada dalam masa kritis. Kita sedang ada di tahap awal pemusnahan massal dan yang dapat kalian (pemimpin) lakukan hanyalah berbicara tentang uang dan pertumbuhan ekonomi. Berani sekali anda!” ujar Greta di depan para pemimpin
dunia.
Keberhasilan Greta dalam meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim menjadikannya satu dari 100 orang paling berpengaruh serta Person of The Year versi Majalah Time. Selain itu, ia juga menerima penghargaan Gulbenkian Prize kategori kemanusiaan.
Isatou Ceesay, Ratu Sampah asal Gambia
Isatou Ceesay, Ratu sampah asal Gambia.
(Sumber: Sarahbeekmans.com)
Jika Swedia memiliki Greta, Gambia juga memiliki perempuan pelindung bumi pada diri Isatou Ceesay. Perempuan yang lahir pada tahun 1972 tersebut merupakan aktivis yang memulai gerakan daur ulang di Gambia.
Isatou mengawali gerakan daur ulang pada tahun 1997. Bersama 4 perempuan lainnya, ia membentuk pusat daur ulang di N’Jau, desa tempat Isatou lahir. Gerakan tersebut lahir dari kecemasan Isatou terhadap sampah yang bersliweran di sekitar N’Jau. Ia khawatir dengan kebiasaan warga membuang sampah di belakang rumah mereka. Selain itu, banyak dari penduduk desa N’Jau menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar api untuk memasak. Hal ini tentunya berbahaya karena hasil pembakaran dari plastik dapat membuat makanan tersebut terkontaminasi zat kimia.
Gerakan daur ulang yang digagas Isatou awalnya mendapat ejekan dari beberapa warga N’Jau. Mereka dianggap kotor karena selalu berkutat dengan sampah. Selain itu, pemikiran patriarkis yang menganggap perempuan memiliki tugas untuk menjaga rumah serta keluarga
juga dihadapi oleh Isatou.
Meski demikian, ia tak menyerah. Secara diam-diam, ia mengumpulkan sampah dan mendaur ulangnya menjadi tas dan dompet. Tas tersebut dijual di luar desa tempat ia tinggal.
Tanpa diduga, tas tersebut laku di pasaran. Para perempuan kota suka terhadap keunikan dari tas tersebut. Gerakan sekaligus bisnis Isatou pun semakin berkembang. Kini, ia juga menjual tas selempang dan tas kosmetik.
Melihat kemajuan pusat daur ulang Isatou, para perempuan desa N’Jau pun semakin tertarik dengan gerakan yang ia buat. Dukungan juga datang dari para laki-laki setelah melihat kondisi keuangan mereka bertambah meski terjadi gagal panen di lahan pertanian mereka.
Kini gerakan tersebut berubah nama menjadi N’Jau Recycling and Income Generation Group (NRIGG). Mereka pun mulai menjual hasil daur ulang mereka ke luar Gambia. Mereka juga mulai mengumpulkan sampah dari desa tetangga serta berbagi pengetahuan mengenai pengolahan sampah.
Pada tahun 2012, Isatou mendapat penghargaan Making a World of Difference Award dari the International Alliance for Women. Penghargaan ini didapat karena ia berhasil memberdayakan perempuan N’Jau sekaligus memperkenalkan masyarakat Gambia tentang sistem daur ulang. Selain itu ia juga diundang di berbagai event di dunia dan berbagi
pengalaman tentang mengelola sampah.
Marina Silva, Penjaga Hutan Amazon
Marina Silva, penjaga hutan amazon yang kini menjadi politisi di Brazil
(Sumber: iea.usp.br)
Marina Silva merupakan aktivis sekaligus politisi asal Brazil. Perempuan yang lahir pada 8 Februari 1958 tersebut memperjuangkan ekosistem serta keberlangsungan Hutan Amazon. Ia juga mempertahankan Amazon dari kontrol pemerintah.
Marina merupakan penduduk Amazon asli. Ia tumbuh besar tanpa pendidikan formal yang layak. Bahkan, ia tidak bisa membaca dan menulis hingga umur 16 tahun. Meski demikian, Marina tetap bertekad untuk memberikan kehidupan yang lebih layak untuk penduduk Amazon.
Saat remaja, Marina memutuskan untuk pergi ke Rio Branco, ibu kota negara bagian Acre. Di sana ia menempuh pendidikan formal dan belajar memahami tulisan. Meski terlambat, ia tak menyerah untuk menempuh pendidikan setara dengan Sekolah Menengah Atas. Sembari menamatkan pendidikan, Marina juga dirawat oleh biarawati di gereja katolik karena mengidap Hepatitis.
Menginjak usia 26 tahun, Marina berhasil meraih gelar ungraduated degree di bidang sejarah dari Federal University of Acre. Marina pun semakin aktif dalam kegiatan politik.
Pada tahun 1988, Ia bersama koleganya, Chico Mendes, berusaha mempertahankan Hutan Amazon dari kontrol pemerintah. Apa yang dilakukan oleh Marina dan Mendes pun tak sia-sia. Keduanya berhasil menghentikan upaya pembalakan dan intervensi dari pemerintah. Akan tetapi, perlawanan tersebut merenggut nyawa Mendes yang tewas akibat pembunuhan berencana.
Selepas mempertahankan Hutan Amazon, Marina memutuskan untuk terjun ke dunia politik praktis dan menjadi Senator pada tahun 1994. Ia merupakan senator termuda yang pernah dimiliki Brazil pada kala itu. Marina juga diberi mandate untuk menjadi Menteri Lingkungan Brazil pada tahun 2003-2008. Ia mencoba untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden pada Pemilihan Umum Presiden Brazil tahun 2014 dan 2018. Akan tetapi usahanya gagal karena kalah suara pada 2 pemilu tersebut.
Marina telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk tujuan keadilan sosial. Ia terlibat dalam upaya anti-hutan, melawan pengusiran masyarakat adat dari tanah tradisional, dan mengadvokasi pembangunan berkelanjutan.
Perempuan yang juga mendirikan Partai Sustainability Network tersebut juga berhasil memberikan akses yang lebih baik ke pendidikan serta membangun kesadaran kesetaraan gender di Brazil Sebagai hasil dari pekerjaannya, dia dinobatkan sebagai salah satu dari Financial Times 'Women of 2014' dan salah satu dari 100 Pemikir Global Teratas dalam bidang Kebijakan Luar Negeri. Dia juga menerima Penghargaan Lingkungan Goldman dan Sophie Prize.
Penulis : Mohamad Rizky Fabian
Comments