Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash
Seorang selebgram berinisial M yang juga merupakan seorang transpuan di tangkap karena diduga melakukan penyalahgunaan narkoba di salah satu hotel di kawasan Jakarta Utara pada Minggu (22/11) lalu. Namun selebgram M sebagai seorang transpuan dijebloskan ke sel tahanan pria, mengapa demikian?
Pada saat M ditangkap, polisi menemukan sabu-sabu seberat 0,36 gram, alat hisap, dan sisa minuman beralkohol. Setelah tes urine, M kedapatan positif sabu, sedangkan satu orang lainnya yang ditangkap bersama M dinyatakan negatif.
M kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Ia dijerat Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan "Setiap orang penyalah guna narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Kemudian, pengguna narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Terakhir, pengguna narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun."
Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok, AKBP Ahrie Sonta, mengatakan tersangka kasus dugaan penyalahgunaan narkoba, M, akan ditahan di sel pria. Kendati demikian, Ahrie mengatakan, sampai saat ini M masih harus diperiksa oleh penyidik Polres Pelabuhan Tanjung Priok.
"Iya, di KTP beliau (M) laki-laki," kata Ahrie dikutip dari Kompas.com
Hal berbeda dialami oleh LL yang juga merupakan transpuan, ia di tangkap dengan kasus yang sama pada 11 Februari 2020 lalu, namun LL ditempatkan di sel tahanan perempuan.
Penempatan transpuan dalam sel tahanan terkadang menuai polemik. Hal ini dikarenakan gender dalam KTP dan ekspresi gender serta identitas gender yang bertolak belakang. Sebenarnya bagaimana seseorang dapat dikatakan sebagai seorang transpuan?
Transpuan merupakan seseorang yang gender lahirnya merupakan laki-laki, namun memiliki identitas gender perempuan. Dilansir dari scottishtrans.org ada dua tipe transpuan, yang pertama merupakan transpuan pre operation, yakni transpuan yang memiliki ekspresi dan identitas perempuan namun masih memiliki seks laki-laki. Yang kedua merupakan transpuan post operation, yakni tanspuan yang telah melakukan operasi seks menjadi perempuan.
Namun kedua jenis ini tetap dikategorikan sebagai transpuan, mengapa demikian? Karena ketika seseorang merasa tidak sesuai dengan seks biologis lahirnya baik itu pre op maupun post op sudah dapat dikategorikan sebagai transpuan.
Keputusan Polres Tanjung Priok dalam memasukan M ke dalam sel tahanan pria ini dikecam oleh berbagai aktivis dan media baik nasional maupun internasional.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengatakan bahwa penempatan transpuan dalam sel tahanan pria dapat mengalami tindakan yang merendahkan martabatnya.
“Misalnya mengalami kekerasan dari sesama tahanan, mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, menjadi bahan rundungan, mengingat kondisi dan situasi rumah tahanan saat ini masih seperti itu,” ujar Koordinator Penanganan Kasus LBHM, Yosua Octavian kepada Suara.com, Selasa (24/11).
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras aparat penegak hukum yang tidak memperhatikan kebutuhan khusus dan resiko keamanan M yang memiliki ekspresi gender perempuan, seharusnya M diperlakukan sebagai perempuan, dan kebutuhan ini harusnya dipahami aparat yang melakukan seluruh tindakan berdasar instrumen hukum dan Hak Asasi Manusia. Menahan M di tempat laki-laki jelas memberikan resiko keamanan pada M, resiko terjadinya stigma, pelecehan hingga kekerasan, potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak terhindarkan.
Sudah saatnya Indonesia mengkaji ulang terkait penempatan seorang transpuan dalam sel tahanan. Karena transpuan baik yang sudah melakukan operasi seks ataupun belum tetap merupakan seorang perempuan. Transpuan sebagai seorang manusia juga mempuanyai Hak
Asasi Manusia yang sama, yang tidak boleh direndahkan, dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Penulis : Giga Baskoro
Editor : Fatika Febrianti
Comments