Ketika mendengar kata pemimpin, pikiran kita pasti tertuju pada laki-laki bijaksana, tegas, gagah, dan penuh wibawa. Sedari kecil, orang tua mengajarkan bahwa sosok lelaki lahir dengan otoritas memimpin. Hal ini ditunjukkan dengan prefensi masyarakat yang masih kuat terhadap sosok pemimpin yang maskulin disbanding feminim serta kurangnya kepercayaan pada pemimpin perempuan.
Namun, ketika kesetaraan gender sudah digaungkan dimana-mana perempuan mulai berani untuk mengambil langkah dan memantapkan dirinya untuk menjadi pemimpin, baik dalam skala kecil ataupun skala besar. Pandangan umum mengenai perempuan yang tidak layak menjadi pemimpin lama – lama semakin menghilang, walaupun tidak semua pekerjaan sudah fleksibel memberikan mandat ini kepada perempuan.
Perempuan memang cenderung memiliki hormon yang berubah-ubah sehingga dipandang akan kurang mampu memegang kekuasaan dan cenderung tidak bisa memberikan keadilan. Perasaan yang lebih bekerja daripada logika menjadi kesulitan perempuan dalam memberikan keputusan. Stereotype mengenai hal ini memang terlanjur kuat dikalangan masyarakat sehingga menjadi hambatan bagi perempuan untuk berkembang menjadi sosok yang pantas disongsong dengan sebutan pemimpin.
“Selain anggapan tentang kurang pantasnya perempuan menjadi seorang pemimpin, kecenderungan double standard yang dilabeli masyarakat juga semakin kuat. Misalnya ketika pemimpin perempuan melihatkan ekspresi emosi biasanya orang akan terlihat bahwa itu dianggap berlebihan, tapi kalau kita lihat laki-laki mengekspresikan emosi kita cenderung memaklumi karena itu bagian dari wibawanya. Wanita kalau sudah memiankan ekspresi emosi juga sering dianggap gagal menjalankan peranannya sebagai wanita yang dilabel hangat,” Ujar Akvina, Mahasiswi jurusan psikologi.
Tetapi dalam mendapatkan gelar pemimpin memang gender tidak menentukan baik dan buruknya suatu kepemimpinan. Tetapi kemungkinan perempuan memiliki kualitas pemimpin juga masih diragukan. Ki Hajar Dewantara melalui prinsip kepemimpinannya yaitu “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” bahwa seorang pemimpin harus memberi teladan, berjuang bersama dan memberikan dorongan kepada anggotanya. Sebagai wanita, bisakah menjadi teladan dan memberikan dampak perubahan dalam mengambil keputusan?
Figur Pemimpin Perempuan Kian Banyak Ditemukan
Realitas era kepemimpinan perempuan di Indonesia dapat dilihat dan dirasakan ketika beberapa menteri yang menjabat pada kabinet kerja. Sebut saja Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan, Rini Soemarno Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan kehuatanan, dan masih banyak lagi. Pada awalnya, gaya kerja pemimpin perempuan ini diragukan karena mobilitas yang dimiliki kaum hawa lebih rendah daripada kaum adam.
Belum lagi ketika dianggap punya perasaan yang lebih sensitif sehingga dalam mengambil keputusan dirasa kurang rasional. Tetapi setelah itu masyarakat dapat melihat bahwa kinerja para menteri tersebut tidak seburuk pandangan awal kepadanya, bahkan masyarakat menginginkan kembali beberapa menteri perempuan untuk kembali menjabat.
Tak hanya di jajaran pemerintahan saja, di skala kecil seperti pemimpin komunitas dan pemimpin mahasiswa di kampus, wanita sudah mulai dilihat untuk dijadikan pioneer dalam pengambil keputusan. “Kalau sekarang di sekitar lingkunganku sih mendukung dan professional gitu untuk memilih pemimpin tanpa memandang gender. Aku bisa mimpin event karna emang didukung sama semua anggota dan aku juga diberikan evaluasi sama anggotaku biar ketika aku menjadi pemimpin bisa lebih maksimal lagi di kemudian hari,” ujar Vivian Andiani, mahasiswa Ilmu Komunikasi.
Lantas dengan banyaknya konsepsi mengenai kepemimpinan, perempuan sebenarnya bisa saja menjadi pemimpin yang layak. Bukti-bukti nyata tentang kepemimpinan seorang wanita juga sudah dirasakan. Walaupun begitu, peer membuktikan kepantasan wanita sebagai pemimpin masih jauh adanya. Dengan stereotype yang perlahan menghilang, kebebasan wanita dalam memimpin kepadannya akan mudah untuk diraih.
Penulis : Malwa Hazwani
Editor : Hammam Izzuddin
Comments