Sumber foto : okezone nasional
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) belakangan ini makin merebak. Terlebih pada masa pandemi Covid-19, kasus KBGO terhadap perempuan meningkat tiga kali lipat. Hal itu disampaikan langsung oleh Divisi Keamanan Online Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Ellen Kusuma dalam sebuah pemaparan, Kamis (27/8/2020), dikutip dari Kompas.
Ellen mengungkapkan, Data Komnas Perempuan menunjukkan kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dari 65 kasus pada 2018 menjadi 97 kasus pada triwulan pertama 2019. "Pada penanganan KBGO, masih adanya kegagapan dalam penanganan laporan," ungkap Ellen kepada lpsk.go.id
Sebagai contoh, kasus penyebaran video syur artis Gisella Anastasia bersama pria berinisial MYD yang viral di media sosial beberapa waktu lalu. Dalam permasalahan ini, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menetapkan Gisella sebagai tersangka karena telah merekam adegan dewasa. Oleh karena itu, kata Yusri, Gisel yang mengakui telah membuat video itu dikenakan Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi, dilansir dari kompas.
Sejalan dengan hal tersebut, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi merespon kasus video syur yang melibatkan artis Gisella Anastasia atau Gisel dengan Michael Yukinobu Defretes. Siti menilai, dalam kasus ini, Gisel adalah korban dari penyebaran konten pribadi. Siti pun menjelaskan soal Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pornografi. Dalam aturan, pembuat konten pornografi bisa dijerat dengan pengecualian tidak termasuk untuk diri sendiri atau kepentingan sendiri.
"Seharusnya, kepolisian segera menangkap dan menangani pihak yang menyebarkan video tersebut, karena penyebaran inilah yang menyebabkan konten pribadi dapat diakses oleh publik. GA dan MYD merupakan korban dari penyebaran konten ini yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum," paparnya kepada detik.com
Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan dari pihak berwenang, GA dan MYD menjadi korban kekerasan berlapis, mereka berdua ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Tepatnya, pasal 4 ayat (1) tentang larangan memproduksi dan menyebarluaskan konten pornografi dan Pasal 8 yang melarang setiap orang menjadi objek atau model pada konten pornografi.
Baca Juga : Tips Styling with Denim
Tak hanya itu, identitas GA juga disebarluaskan melalui media massa. Mulai dari menyebutkan nama lengkap dan fotonya, menyorot kehidupan rumah tangganya, hingga menghubungkan dengan anaknya. Hal itu tentu sangat disayangkan, pemberitaan media yang malah menitikberatkan pada sosok publik figur ini dan luput untuk mengangkat persoalan tindak kekerasan yang dialami GA dan MYD.
Aktivis kesetaraan gender Anindya Vivi turut menambahkan bahwa media terlalu fokus untuk mengumbar identitas GA hingga membuat identitas pelaku penyebaran video itu sendiri tenggelam.
“Seharusnya yang disebarkan adalah pelaku penyebar video. Fokus penegak hukum pun mestinya adalah mencari penyebarnya dan dialah yang sepantasnya dijadikan tersangka. Bukan GA itu sendiri,” ujar Anindya kepada Asumsi.co pada Rabu (30/12).
Di sisi lain, tidak adanya payung hukum yang kuat bagi korban KBGO ataupun korban kekerasan seksual secara keseluruhan. Anindya memaparkan bahwa definisi atau jenis kekerasan seksual yang diakui oleh hukum Indonesia masih terbatas. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP), hanya terdapat tiga bentuk kejahatan terkait seksualitas, yaitu kesusilaan, persetubuhan, dan pencabulan. Begitu pula dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak yang sebatas mengatur kekerasan seksual terhadap anak di dalam rumah tangga.
“Undang-undang yang dimiliki Indonesia belum ada yang mendefinisikan dan melindungi korban KBGO. Akhirnya, karena tidak adanya perlindungan itu, tidak ada pengakuan bahwa apa yang dialami GA dan korban KBGO lainnya adalah bentuk dari kekerasan seksual. Padahal mereka korban,” tutup Anindya.
Penulis : Annisa Aulia
Editor : Annisya Asri
Comments