Sumber foto : Ina Koran
Adakah ilmuwan perempuan yang kamu ketahui? Mungkin ada namun tak sebanyak ilmuan laki-laki. Sejak zaman dahulu ilmuwan perempuan sulit diakui dunia, karena diskriminasi gender masih sangat kuat terjadi. Tidak sedikit usaha keras para ilmuwan perempuan tidak diakui, atau sebagian hanya dianggap pembantu dari suaminya. Perempuan dipandang tidak memiliki kemandirian yang dapat menghasilkan penemuan berharga.
Kecerdasan dan Gender
Di Indonesia, perbedaan gender memiliki pengaruh pada dunia pendidikan. Masyarakat beranggapan bahwa adanya perbedaan kemampuan antara laki-laki dan perempuan dalam memahami suatu hal. Seperti misalnya perempuan yang dianggap tidak cocok jika masuk jurusan IPA karena terlalu berat bagi mereka. Sebaliknya laki-laki dianggap lebih mampu dalam jurusan IPA atau dibidang sains.
Mutiara (17), siswi asal Tangerang Selatan ini menjadi korban dari anggapan tersebut. Tahun ini ia sudah mulai menentukan jurusan mana yang akan ia pilih untuk kuliah di tahun depan. Akan tetapi, orang tuanya melarang Mutiara untuk masuk ke jurusan SAINTEK, khususnya jurusan IPA murni.
“Kalau kata mereka, aneh buat cewe yang ngambil jurusan begituan. Aku sebagai cewe akan kesusahan kalau ngambil jurusan tersebut,” ujar Mutiara saat kami hubungi Sabtu (12/12) lalu.
Selain itu, orang tua Mutiara juga menilai bahwa perempuan tidak diharuskan untuk menjadi sangat pintar. Menurut mereka, jurusan IPA murni tidak ada gunanya bagi putrinya karena mereka percaya, setinggi-tingginya pendidikan seorang perempuan, pasti akan berujung pada urusan rumah tangga.
Anggapan ini didukung dengan banyaknya ilmuwan yang didominasi oleh laki-laki, seperti Thomas Alfa Edison, Alexander Graham Bell, Albert Enstein, dan masih banyak lagi. Sedangkan, ilmuwan perempuan yang dikenal hanya beberapa saja dan mungkin bisa dihitung dengan jari.
Puluhan tahun silam, para pakar percaya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang berbeda dalam kecerdasan. Perempuan memiliki keunggulan dalam bidang bahasa karena kemampuan mengingat mereka yang baik. Sedangkan laki-laki lebih unggul mengenai problem solving, termasuk analisa dan berhitung sehingga mereka dianggap cocok dalam bidang sains.
Akan tetapi, pemikiran tersebut kemudian dipatahkan oleh temuan baru yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan ternyata memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Tidak ada hubungannya gender atau jenis kelamin dengan kecerdasan seseorang. Setiap gender mampu dalam bidang bahasa maupun problem solving.
Berdasarkan data yang dikumpulkan lebih dari 3 juta partisipan dari tahun 1967 hingga 1987, para pakar menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam mengerjakan tes matematika. Perempuan sedikit lebih unggul dalam berhitung di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Sementara itu, laki-laki sedikit lebih unggul di pelajaran matematika saat di bangku SMA. Namun demikian, dari data di atas, diketahui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam memahami konsep matematika.
Hasil yang sama juga dijumpai dalam tes kemampuan verbal/bahasa. Pada tahun 1988, Janet Shibley Hyde, pakar psikologi dari Universitas Wisconsin melaporkan, data dari 165 studi mengungkap bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan verbal yang sama.
Perempuan Dalam Dunia Sains
Dahulu, ilmuwan yang terkenal didominasi oleh laki-laki dengan penemuan-penemuannya yang berpengaruh bagi dunia. Jumlah ilmuwan perempuan yang sedikit nyatanya tidak menurunkan minat perempuan untuk terjun dalam bidang sains.
“Aku pengen banget masuk jurusan Fisika, apalagi dibidang penerbangan, astronomi, atau hal-hal lain yang berkaitan sama luar angkasa itu aku suka banget. Atau kalau ngga aku tertarik banget sama teknologi pesawat, makanya aku juga pengen masuk jurusan Teknik Penerbangan,” kata Mutiara dengan antusias.
Data UNESCO dan Korean Women’s Development Institute menggambarkan sejumlah ilmu terkait bidang STEM (Science, Technology, Engineering and Math) di perguruan tinggi Indonesia sendiri sebenarnya diminati perempuan. Sebanyak 88 persen responden memilih biologi dan 80,7 persen menaruh minat pada farmasi. Sisanya, pilihan perempuan jatuh pada sejumlah disiplin ilmu lain seperti Kedokteran sebesar 73 persen, kimia 66,8 persen, matematika sejumlah 57,7 persen, dan fisika sebesar 38,9 persen.
Akan tetapi, tingginya minat perempuan dalam bidang STEM ternyata berbanding terbalik dengan presentase perempuan yang bekerja dalam bidang sains. Data dari Catalyst menunjukkan bahwa laki-laki selalu mendominasi tenaga kerja di bidang STEM di berbagai negara. Pada tahun 2019, hanya 27% pekerja perempuan di industri berkualifikasi STEM. Bahkan, penghasilan perempuan rata-rata 19% lebih rendah dibandingkan laki-laki di industri berkualifikasi STEM.
Lalu, mengapa dunia sains masih didominasi oleh laki-laki?
Jawabannya adalah adanya budaya yang masih melekat pada masyarakat kita. Dalam budaya patriarkis, peran kaum perempuan masih dibatasi, termasuk salah satunya larangan untuk melanjutkan pendidikan atau menuntut ilmu setinggi mungkin.
Prof. Herawati Sudoyo MD, Ph.D memaarkan bahwa lingkungan sosial menjadi tantangan bagi ilmuwan perempuan. Stereotip bahwa perempuan memiliki kodrat untuk mendampingi suami dan anak-anak masih melekat pada benak masyarakat. Oleh karena stereotip tersebut, bagi seorang perempuan yang akan meningkatkan karir harus bisa menyesuaikan perannya sebagai istri sekaligus ibu.
"Berbeda dari dulu, sekarang justru tantangannya dari lingkungan sosial. Berkarier sampai posisi tinggi seperti sebuah beban untuk ilmuwan wanita, tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di dunia internasional," ujar Prof. Hera dilansir dari Wolipop.com.
Akibat dari stereotip tersebut, akan berdampak pula pada kondisi mental perempuan. Meski nilai mereka tinggi dalam bidang sains, kepercayaan diri mereka jauh lebih rendah daripada laki-laki. Sehingga, stereotip dan pemikiran atas budaya patriarki tersebut mempengaruhi seseorang dalam menentukan karir kedepannya.
Penulis : Fatika Febrianti
Editor : Hammam Izzuddin
Comments