Sumber foto : Variety.com
Kehadiran perempuan di film kerap dianggap sebagai objek semata. Beberapa film khusunya di era 70-an hanya menampilkan perempuan demi fan service dfengan pakaian yang minim. Konsep gaze pun hadir untuk menjelaskan bagaimana audiens berhubungan dengan media visual. Konsep male gaze theory pun hadir sebagai kritik terhadap objektifikasi perempuan.
Teori male gaze mengatakan bahwa film memberikan beberapa kepuasan, salah satunya adalah kepuasan dalam pandangan atau disebut dengan scopophilia. Menurut Laura Mulvey, pencetus teori male gaze, kepuasan dalam memandang dibagi menjadi dua. Laki-laki sebagai pihak yang aktif dan perempuan sebagai pihak yang pasif.
Perempuan yang pasif kerap dijadikan objek seksual dari pandangan laki-laki heteroseksual yang melihatnya. Laki-laki pun mendapatkan kenikmatan dari pandangan tersebut. Di masyarakat yang memiliki nilai patriarki, laki-laki dianggap sebagai pelaku dunia yang "aktif", sementara wanita diharapkan hanya mendukung tujuan para laki-laki.
Jika berbicara mengenai dunia film, laki-laki lebih mendominasi penulisan, penyutradaraan, serta pengeditan suatu film. Berdasarkan data yang diunggah oleh womenandhollywood.com, perempuan hanya memiliki representasi berjumlah 10,7 persen dari 100 sutradara yang menduduki tops 100 film dengan pendapatan tertinggi pada 2019.
Dari 100 film dengan pendapatan tertinggi tersebut, hanya 19,4% yang menggunakan jasa penulis perempuan. Selain itu, produksi 100 film tersebut didominasi oleh laki-laki dengan 75,7% produser. Angka tersebut menunjukan ketimpangan representasi perempuan di film Hollywood.
Ketimpangan tersebut diperparah dengan target audiens yang kebanyakan berasal dari laki-laki. Laki-laki biasanya diberi peran utama dalam cerita itu sendiri sementara karakter perempuan diberi fungsi yang terbatas untuk memenuhi tujuan protagonis laki-laki tersebut.
Menurut Mulvey, secara tradisional, perempuan yang ditampilkan berfungsi dalam dua tingkatan. Yaitu sebagai objek erotis bagi tokoh-tokoh dalam cerita layar, dan sebagai objek erotis bagi penonton di dalam auditorium (bioskop).
Teori ini juga mengatakan bahwa karakter perempuan harus berperan sesuai ceritanya, sambil tetap berpegang pada fantasi seksual laki-laki heteroseksual. Pernyataan tersebut didukung dengan banyaknya karakter perempuan yang cantik, penurut, dan memiliki tubuh yang ideal di film Hollywood.
Meski demikian, perempuan tidak harus selalu memiliki tubuh yang ideal dalam teori ini. Selama perempuan tidak memiliki inisiatif dan hanya bertindak pasif dalam mendukung laki-laki, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai male gaze.
Meski telah diterbitkan lebih dari 50 tahun yang lalu, teori ini masih relevan jika digunakan untuk melihat kondisi perfilman saat ini. Dilansir dari studiobinder.com, Aladdin merupakan salah satu contoh film yang menggunakan teori ini.
Karakter Jasmine memang memiliki tujuan dan tidak terlalu pasif seperti di film kartunnya. Akan tetapi, ia masih dianggap sebagai objek yang direbutkan oleh ayahnya, musuhnya, serta Aladdin.
Bagi ayahnya, Jasmine adalah artefak berharga yang harus diamankan. Bagi tokoh antagonis yaitu Jafar, Jasmine adalah alat berharga yang bisa digunakan untuk mendapatkan kekuasaaan, kekuatan, serta pengaruh yang lebih besar. Sementara untuk Aladdin, Jasmine adalah hadiah yang harus dimenangkan.
Selain jalan cerita dan penampilan perempuan, teori ini juga menyoroti penempatan kamera di film Hollywood. Beberapa film dengan sengaja menampilkan adegan yang memfokuskan kepada bentuk tubuh perempuan. perempuan nyatanya menjadi korban pelecehan tanpa disadari akibat arahan sutradara untuk menempatkan sorotan kamera di bagian tubuhnya.
Fenomena ini juga menjadi cikal bakal kosakata bimbo yang merujuk kepada perempuan berambut pirang dengan tubuh seksi namun bodoh. Bimbo biasanya memiliki fungsi yang sangat sedikit dalam keseluruhan plot. Ia hadir hanya untuk memanjakan mata para audiens laki-laki. Sebut saja Marilyn Monroe dan Pamela Anderson yang kerap mendapat peran tersebut.
Beberapa film telah berupaya menghindari fenomena tersebut. Akan tetapi, dominasi film yang menampilkan perempuan sebagai tokoh yang pasif dan hanya dijadikan pendukung masih terus berlanjut. Tentu kita berharap representasi perempuan di film terutama sutradara dan produser terus bertambah agar tidak ada lagi perempuan yang menjadi korban male gazetheory.
Penulis : Rizky Fabian
Editor : Hammam Izzuddin
Bình luận