Lara Croft, Tokoh utama serial Tomb Raider
Sumber foto : wall.alphacoders.com
Video game memang identik dengan laki-laki. Pembuatan karakter dari sebuah game pun disesuaikan dengan target audiens dari game yang akan dirilis. Beberapa karakter perempuan di video game sengaja dibuat oversexualized dengan pakaian terbuka dan memperlihatkan anggota tubuhnya. Nyatanya karakter perempuan masih dianggap sebagai sex object dan fan-service semata.
Kehadiran karakter perempuan di video game bukanlah hal baru. Samus Aran dari video game Metroid merupakan karakter perempuan pertama yang hadir di video game. Game yang ber-genre action-adventure tersebut dirilis pada tahun 1986 di platform Nintendo.
Selain Samus, Lara Croft dalam game Tomb Raider juga menjadi salah satu karakter perempuan pertama di video game. Game dengan genre yang sama dengan Metroid tersebut dirilis pada Oktober 1996 di platform Sega Saturn. Franchise game Tomb Raider mendapatkan respon positif dari para gamer dan terjual lebih dari 81 juta kali. Bahkan, karakter Lara croft juga diangkat di layar lebar yang diperankan oleh aktris Angelina Jolie dan Alicia Vikander.
Kini, karakter perempuan semakin sering dijumpai. Beberapa karakter perempuan terkenal di video game di antaranya adalah Chun-Li dari game Street Fighter, Jill Valentine dan Claire Redfield dari seri Resident Evil, serta Tracer dari game Overwatch. Selain itu, perempuan juga mendapatkan porsi lebih banyak dengan hadirnya NPC atau Non-Playable Character (Karakter non-pemain).
Claire Redfield, Protagonis serial Resident Evil
Sumber foto : wall.alphacoders.com
Walaupun jumlahnya masih kalah jauh dari karakter laki-laki, kehadiran karakter perempuan di video game tentu merupakan hal positif karena perempuan juga butuh representasi. Akan tetapi, desain dari karakter perempuan kerap identik dengan pakaian terbuka dan lekukan tubuh yang berlebihan. Fenomena ini disebut dengan oversexualization atau seksualisasi dimana bagian tubuh perempuan sengaja diekspos untuk menimbulkan kesan seksual.
Sebut saja karakter Rainbow Mika dalam game Street Fighter. Dengan dada besar dan pakaian minim, karakter tersebut menarik perhatian dari para gamer dan non-gamer.
Latar belakang Mika yang merupakan seorang pegulat tentu membutuhkan kostum yang ideal dan lentur untuk membantu pergerakannya. Akan tetapi, pakaian Mika dianggap terlalu minim oleh beberapa pihak dan dianggap sebagai fan-service semata. Bahkan, dalam Turnamen Street Fighter EVO 2016, kostum bawaan dari karakter Mika dilarang untuk tampil karena dianggap tidak pantas dan terlalu seksi.
Selain Mika, desain karakter Quiet dalam seri Metal Gear Solid juga mendapatkan kritik tajam dari beberapa media massa pada awal perilisannya. Ia dianggap memiliki ukuran dada yang tidak realistis dan menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan latar video game Metal Gear Solid yang bertemakan perang.
Menurut jurnal dengan judul “The myths, misconception, and misdemeanors of females in games” Lara Croft dalam Tomb Raider merupakan personifikasi dari benturan budaya, gender, seksualitas, pemberdayaan, dan objektifikasi. Karakter Lara yang kuat dan independen seolah-olah terlupakan begitu saja karena objektifikasi dari para gamer.
Genre Role-Playing Game (RPG) dimana pemain dapat membuat desain karakter sesuka hati juga menjadi masalah dalam melawan objektifikasi perempuan di video game. Pemain kerap membuat bentuk badan karakter perempuan yang menampilkan seksualitas secara berlebihan. Hal ini diperparah dengan sistem pakaian dimana biasanya, pakaian yang lebih minim malah menambahkan bonus skill dan juga meningkatkan kemampuan karakter di game RPG.
Studi yang dilakukan oleh Karen E. Dill pada 2005 menunjukan bahwa terdapat 3 stereotip dari karakter perempuan. 3 karakter tersebut adalah sexualized, scantily clad (pakaian minim), dan cantik. Studi tersebut menunjukan bahwa lebih dari 80 persen perempuan dalam video game memiliiki salah satu dari ketiga poin tersebut.
Sexualitas yang ditampilkan di video game membuat gamer menganggap rendah kemampuan kognitif perempuan di dunia nyata. Jurnal dengan judul “The Effects of the Sexualization of Female Video Game Characters on Gender Stereotyping and Female Self-Concept” juga menyatakan bahwa pemain menganggap perempuan memiliki kemampuan fisik yang inferior terhadap laki-laki.
Meski demikian, jurnal yang dibuat oleh Elizabeth Behm-Morawitz ini juga menyimpulkan bahwa seksualitas pada karakter perempuan tidak mengubah sikap gamer khususnya laki-laki terhadap perempuan. Dirinya juga menambahkan bahwa karakter perempuan yang powerful juga memiliki dampak positif terhadap perspektif gamer mengenai perempuan.
Hal senada juga disampaikan oleh Rizal Bramasta Putra Priyanto, mahasiswa Universitas Indonesia yang juga seorang gamer. Laki-laki yang memiliki 3 generasi konsol Playstation tersebut mengatakan bahwa karakter perempuan yang oversexualized tidak mempengaruhi dirinya sama sekali.
“Saya tidak terlalu peduli sih dengan hal tersebut, Malahan saya merasa kurang nyaman. Menurut saya, jika kualitas game tersebut bagus saya yakin orang-orang akan membeli game tersebut. Jadi bisa dibilang kami (gamer) tidak terlalu mementingkan desain karakter utama dari sebuah game selama punya latar belakang dan story yang bagus,” ujar pria yang akrab disapa Rizal tersebut.
Laki-laki yang kini sedang menabung untuk membeli Playstation 5 tersebut juga mengatakan bahwa seksualisasi serta stereotip karakter perempuan di dunia game diambil dari realita sehari-hari. Ia berkaca pada kondisi sosial dimana perempuan masih dianggap sebagai objek semata.
“Menurut saya developer game masih terbawa stigma masyarakat terhadap perempuan yang dianggap lemah dan merupakan objek seksual. Meski demikian, beberapa karakter seperti Aloy dalam game Horizon Zero Down mampu mendobrak stigma tersebut,” ujarnya ketika dihubungi via sambungan telepon.
Karakter Aloy dalam video game Horizon Zero Dawn
Sumber foto : wall.alphacoders.com
Anggapan Rizal serta jurnal yang dibuat oleh Elizabeth Behm-Morawitz menunjukan bahwa pemain tidak membeli suatu game karena karakter yang menunjukan seksualitasnya. Lalu, mengapa para pembuat game kerap menggambarkan perempuan sebagai objek seksual?
Video Game Journalist, Stephanie Smith mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan pemberdayaan dan juga perbedaan kultur dimana game tersebut dibuat. Ia juga menambahkan bahwa seksualitas akan selalu “menjual” meskipun tanpa disadari oleh pemain.
“Cover game dengan unsur seksual akan selalu menarik perhatian. Selain itu, kita bermain game untuk merasa kuat dan diberdayakan. Hal ini biasanya didapat ketika kita memainkan karakter yang percaya diri dan penuh kharisma. Beberapa negara seperti Jepang juga memiliki kultur dan anggpan yang berbeda mengenai seksualisasi,” ujar Stephanie dalam situs quora.com.
Hideo Kojima, kreator dari Quiet dalam seri Metal Gear Solid mengatakan bahwa ia juga memikirkan penjualan merchandise. Meski demikian, ia tidak ingin karakter yang dibuatnya tidak memiliki latar belakang hanya menjadi fan-service.
“Yang saya coba lakukan adalah membuat karakter yang unik. Saya ingin menambah unsur keseksian dari karakter Quiet. Bagi saya, kata seksi bukan hanya datang dari perempuan. Seksi juga bisa digunakan untuk mendeskripsikan laki-laki, senjata, dan kendaraan,” ujar Kojima dilansir dari gamespot.com.
Kehadiran karakter perempuan dalam video game merupakan bentuk upaya dari representasi perempuan. Dengan jumlah yang semakin meningkat, tentunya gamer perempuan butuh karakter yang membantu memberdayakan mereka baik di game maupun di dunia nyata. Sangat disayangkan apabila kehadiran perempuan di video game hanya dianggap sebagai objek dan fan-service semata.
Penulis : Mohamad Rizky Fabian
Editor : Annisya Asri
Comments