Sebagian besar orang menganggap bahwa menjadi anak pertama tidaklah mudah, terlebih bagi perempuan. Tuntutan dalam hidup seakan baginya adalah beban. Mulai dari diwajibkan harus sukses dalam pendidikan hingga karir. Terkadang, sebagai anak sulung tidak dapat menentukan pilihan yang bebas, campur tangan dari orang tua kerap kali menjadi perdebatan dan berujung pasrah menerima keputusan.
Namun, tidak semua perempuan yang menjadi anak pertama menganggapnya sebagai beban. Vika Amartya salah satunya. Ia menjalani hidupnya dengan menjadikannya sebagai pilihan yang harus dijalani.
Salah satu pilihannya adalah ketika ia hidup dalam keluarga yang secara turun temurun menekuni bidang olahraga utamanya tennis. Naas, ia memilih tidak mengikutinya.
Sejak berusia 5 tahun ia telah dikenalkan tennis oleh sang ayah dan ibu. Namun, dalam perjalanannya belajar olahraga tennis, ia hanya sebatas berkenalan saja tanpa minat untuk merambah ke dunia prestasinya. Hingga pada kelas 4 Sekolah Dasar (SD) ia mengenal olahraga wushu.
Keputusannya menekuni olahraga dari China ini menjadikan ia satu-satunya dalam lingkup keluarga yang tidak bermain di bidang tennis. Beruntungnya, pilihan tersebut didukung oleh kedua orang tuanya. “Mereka (orang tua) membebaskanku untuk memilih wushu atau tennis. Selagi aku bisa bertanggung jawab atas pilihanku dan totalitas didalamnya, bahkan bisa berprestasi mereka akan mendukungku”, ujarnya.
Hasil dari latihannya membuahkan hasil hingga ia berhasil menyabet gelar beberapa kejuaraan, seperti Juara 2 Wushu tingkat Nasional, Juara 1 Wushu se-Jawa Tengah, Juara 3 Pekan Olahraga Nasional (PON) Remaja, dan masih banyak lagi.
Hingga akhirnya pada 2019, mahasiswi semester 5 jurusan Manajemen ini memutuskan untuk berhenti dari dunia wushu karena kesibukannya dalam dunia perkuliahan di Universitas Diponegoro (UNDIP). Pun, selain menentukan pilihan dalam berolahraga, ia juga dibebaskan dalam memilih perguruan tinggi sekaligus jurusan dalam melanjutkan studinya setelah SMA. Hingga akhirnya diterima di UNDIP.
Perempuan berumur 20 tahun ini selain sebagai anak sulung juga sebagai seorang kakak bagi adiknya. Posisi seorang kakak terkadang menjadi dilematis bagi beberapa orang. Dalam kehidupan berkeluarga, biasanya terdapat 2 tipe seorang kakak. Pertama, seorang yang rela mengalah demi sang adik. Kedua, orang yang segala keinginannya harus dituruti oleh adik.
Vika adalah sosok yang tergolong pada tipe pertama. Dalam kehidupan pribadi, wanita ini kerap kali mendahulukan kepentingan adiknya daripada dirinya sendiri. Dia lebih suka mengalah bahkan membantu adiknya untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Dalam memposisikan diri sebagai kakak, Vika tidak merasa menjadi beban untuk hidupnya. Sebaliknya, ia ingin bersikap sebagai kakak yang bijak dalam menyikapi segala sesuatu hingga bisa menjadi seorang panutan bagi adiknya.
Ketika berkiprah di dunia wushu, sang adik Zheina Amartya lebih memilih kancah olahraga tennis. Perbedaan tersebut tidak menjadikan sang kakak bersifat memaksakan kehendak kepada adiknya untuk mengikuti wushu pula. Ia senang bahkan juga mendukung pilihan adiknya dalam aktifitas olahraga.
Menjadi anak pertama tidak seburuk yang dibayangkan ketika kita memiliki pilihan yang didasari dengan perasaan senang terlebih dahulu. Pilihan yang kita buat juga akan membuahkan hasil yang baik pula kedepannya. Selain itu, lingkungan yang mendukung menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam menentukan sebuah pilihan.
Tulisan ini berdasarkan kisah dan pengalaman pribadi yang dibagikan secara langsung oleh salah satu sahabat rekampuan, Vika Amartya.
Penulis : Rizki Ardandhitya
Editor : Fatika Febrianti
Comments