top of page
Search

Menjadi Perempuan di Tengah Maraknya Candaan Seksis

  • Writer: Redaksi Rekampuan
    Redaksi Rekampuan
  • Dec 29, 2020
  • 2 min read

Ilustrasi sexist jokes yang dihadapi perempuan sehari-hari.

(sumber: medium.com)


Banyak masalah yang harus dihadapi oleh perempuan ketika berinteraksi dengan orang lain. Selain stigma dan stereotip, nyatanya perempuan masih harus menghadapi ejekan serta candaan yang bersifat seksis. Masyarakat masih belum menyadari bahwa candaan tersebut dapat menghambat pergerakan perempuan dalam menghadapi ketidakadilan.


Saya adalah salah satu perempuan yang kerap menerima candaan tersebut. Saya memang memiliki lebih banyak teman laki-laki. Selain itu, saya mengikuti estrakurikuler basket di SMA. Jadi, bisa dibilang saya sering berinteraksi dengan laki-laki.


Di beberapa obrolan saya kerap mendengar candaan yang merendahkan perempuan. Tidak hanya itu, ketika sedang latihan atau turnamen pun saya kerap mendengar tertawaan dari para laki-laki. Perempuan memang masih dianggap tidak bisa diandalkan dan berolahraga. Padahal saya berhasil meraih juara beberapa kali di turnamen tingkat walikota.


Tidak hanya di dunia nyata, candaan tersebut juga kerap saya lihat di dunia maya. Perempuan kerap dianalogikan sebagai dishwasher/mesin cuci piring. Beberapa laki-laki juga kerap menyuruh perempuan untuk kembali ke dapur jika ia menyampaikan opini di media sosial.


Topik sensitive seperti keperawanan juga sering dijadikan bercandaan di tongkrongan. Candaan tersebut dilontarkan tanpa rasa bersalah sama sekali. Mungkin mereka berfikir karena kita sudah berteman jadi bisa bercanda seenakanya. Padahal seharusnya tidak demikian.


Saya juga beberapa kali sudah mengingatkan untuk tidak mengeluarkan jokes yang bersifat seksis. Akan tetapi, saya malah dibilang baperan dan tidak bisa diajak bercanda. Kata baper memang kerap dijadikan tameng untuk bercanda sesuka hati. Kata tersebut merupakan bentuk gashlighting yang membuat kita merasa bersalah karena sudah tersinggung.


Tanpa mereka sadari, candaan tersebut juga dapat menghambat perubahan stigma terhadap perempuan. Banyak dari perempuan yang akhirnya disepelekan dan dijadikan bahan tertawaan semata. Candaan terebut juga berasal dari internalized misogyny terhadap perempuan yang tidak mereka sadari.


Contoh saja kolom komentar bleacherreports di Instagram setiap kali memberitakan tentang WNBA (Liga Basket Perempuan Amerika Serikat). Banyak dari pengguna melontarkan candaan dan hinaan terhadap pemain basket wanita. Padahal, para atlit perempuan masih harus berjuang untuk mendapatkan gaji yang setara dengan atlit laki-laki. Alhasil, isu tersebut tidak dianggap serius oleh public.


Tidak ada yang salah dengan bercanda. Akan tetapi, kita juga harus melihat kondisi orang yang kita jadikan subjek untuk bercanda. Dengan banyaknya problematika yang menghantui kehidupan perempuan, rasanya tidak pantas jika seseorang membuat lelucon yang bersifat seksis. Saya dan perempuan lain sudah letih berjuang melawan ketidakadilan. Eh, masih dijadikan bahan bercandaan juga.


Keluhan ini saya tulis karena masyarakat belum juga dewasa dalam menanggapi isu yang dialami perempuan. Sudah seharusnya masyarakat introspeksi diri dan berhenti berlindung dengan kata-kata baper dan bercanda. Jika kalian tidak dapat membantu pergerakan perempuan, setidaknya jangan mencemooh atau menghambat gerakan tersebut dengan candaan yang bersifat seksis. Tidak sulit bukan?


Tulisan ini berdasarkan pengalaman yang dibagikan oleh salah satu sahabat Rekampuan.


Penulis : contributor, Mohammad Rizki Fabian

Editor : Fatika Febrianti

Komentarze


Susunan Redaksi

Pemimpin Umum

Malwa Hazwani

hammam bw.png
icak bw.png

Pemimpin Redaksi

Editor

Editor

Fatika Febrianti

Hammam Izzudin

Annisya Asri

fabian bw.png

Reporter

Rizky Fabian

annisa.png

Reporter

giga bw.png

Kreatif

dandi bw.png

Kreatif

Annisa Aulia

Giga Baskoro

Rizki Ardandhitya

  • Instagram
bottom of page