Sumber foto: electricliterature.com
Kisah heroik perempuan dalam membebaskan suatu kelompok mungkin sudah sering kita lihat di film Hollywood. Katnis Everdeen dari trilogi The Hunger Games dan Beatrice Prior dari trilogy divergent merupakan beberapa karakter perempuan yang memimpin suatu revolusi. Namun tahukah kalian jika prancis punya tokoh revolusioner yang mirip dengan cerita di film Hollywood?
Adalah Jeanne d’Arc (Joan of arc) yang memimpin revolusi Prancis pada tahun 1429. Joan lahir di Lorraine, Prancis pada 6 Januari 1412. Ia lahir dan besar di desa Domremy, sebuah wilayah di Prancis timur laut.
Ayah Joan, Jacques D’Arc merupakan pejabat pemerintah daerah dan bertugas mengumpulkan pajak serta mengepalai keamanan kota. Ibunya, Isabelle Romee merupakan ibu rumah tangga yang juga membantu mengurus lahan sebesar 50 hektar milik keluarga Joan.
Baca juga : Calon Menteri Keuangan Perempuan Pertama AS
Pada saat Joan lahir, kondisi Prancis sedang kurang stabil karena konflik berkepanjangan dengan Inggris. Konflik yang dikenal dengan Perang Seratus Tahun (Hundred Years’ War). Perang tersebut dimulai pada 24 Mei 1337, dengan penyitaan Kadipaten Guyenne yang dikuasai Inggris, oleh Raja Prancis Philip VI. Penyitaan ini, telah didahului oleh pertikaian akibat batas wilayah Inggris di Prancis sejak abad ke-12.
Joan tumbuh menjadi perempuan yang sangat taat pada agama. Ibunya berperan besar dalam menumbuhkan kecintaan Joan pada agama katolik. Ia pun rajin menghadiri ceramah dan acara keagamaan di gereja.
Pada usia 13 tahun, Joan mulai mendengar suara-suara, yang ia anggap dikirim oleh Tuhan untuk memberinya misi yang sangat penting. Menurutnya, St. Michael, St. Catherine, dan St. Margaret memerintahkannya untuk mengusir Inggris dan membawa sang dauphin (Charles ke-7) kembali ke Reims untuk diangkat menjadi raja.
Awalnya, Charles tidak percaya dengan pernyataan Joan. Akan tetapi, dalam konvensi yang dilakukan secara tertutup, Joan berhasil meyakinkan Charles dengan mengungkapkan informasi yang menurut Charles, hanya bisa diketahui oleh utusan Tuhan. Namun, detail dari informasi tersebut hingga saat ini belum diketahui oleh publik.
Sebagai bagian dari misi suci ini, Joan mengambil sumpah kemurnian. Dengasn sumpah ini, Joan tidak bisa berhubungan dan menikah dengan siapapun. Pada usia 16 tahun, ayahnya mencoba menjodohkannya dengan seorang laki-laki. Akan tetapi, ia berhasil meyakinkan pengadilan setempat bahwa dia tidak boleh dipaksa untuk menerima perjodohan tersebut.
Di usianya yang ke-16 tahun, Joan berjanji kepada Charles bahwa dia akan dimahkotai sebagai raja di Reims. Namun, Joan memberi syarat yaitu memberinya pasukan untuk dipimpin ke Orléans, yang dikepung oleh Inggris. Bertentangan dengan saran dari sebagian besar penasihat dan jenderalnya, Charles mengabulkan permintaan Joan.
Setahun berselang, dengan pakaian perang dan kuda yang serba putih, ia memulai perjalanannya ke Orleans. Setelah mengirimkan surat pemberontakan kepada musuh, Joan memimpin beberapa serangan Prancis terhadap Inggris. Ia mampu mengusir Anglo-Burgundi dari benteng pertahanan mereka dan memaksa mundur menyeberangi Sungai Loire.#
Joan of Arc tidak menerapkan strategi pragmatis yang sebelumnya menjadi ciri khas pasukan Prancis.
Sebaliknya, ia menerapkan serangan frontal dan agresif terhadap benteng pertahanan musuh. Sejarawan modern pun mengakui kepahlawanan Joan dalam pertempuran ini, di mana pada suatu saat ia harus menarik keluar anak panah yang menancap di bahunya, dan kembali memimpin penyerangan terakhir.
Setelah kemenangan ajaibnya di Orleans, reputasi Joan menyebar luas di antara pasukan Prancis. Dia dan para pengikutnya mengawal Charles melintasi wilayah musuh ke Reims, merebut kota-kota yang melawan secara paksa dan memungkinkan penobatannya sebagai Raja Charles VII pada Juli 1429.
Meski Joan berpendapat bahwa Prancis harus terus menekan dengan keunggulan yang mereka miliki dan merebut kembali Paris. Akan tetapi, Charles tidak setuju. Georges de La Trémoille pun memperingatkan Charles bahwa posisi Joan menjadi terlalu kuat di pasukan Prancis.
Pada tahun 1430, sang raja memerintahkan Joan untuk menghadapi serangan Burgundi di Compiégne. Dalam upayanya untuk mempertahankan kota, dia terlempar dari kudanya dan ditinggalkan di luar gerbang kota saat mereka ditutup. Pasukan Burgundi menawannya dan membawanya ke kastil Bouvreuil, yang diduduki oleh komandan Inggris di Rouen.
Dalam persidangan, Joan dituntut sekitaar 70 dakwaan terhadap dirinya. Beberapa dakwaan tersebut antara lain termasuk sihir, bid'ah, dan berpakaian seperti pria. Kerajaan Anglo-Burgundi pun memiliki tujuan untuk menyingkirkan pemimpin muda tersebut serta mendiskreditkan Charles, yang berhutang penobatannya kepadanya. Dalam upaya menjauhkan diri dan menjaga nama baiknya, raja Prancis tersebut tidak berusaha merundingkan pembebasan Joan.
Penggunaan pakaian laki-laki oleh perempuan sebenarnya tidak dilarang oleh ajaran Katolik jika memilki alasan mendesak, salah satunya melindungi diri dari perkosaan. Ia juga boleh saja menggunakan pakaian perang laki-laki untuk melindungi diri dalam pertempuran, walaupun membuatnya tampak menjadi kesatria laki-laki. Ahli teologi Jean Gerson mengatakan bahwa penampilan tersebut hanya untuk kepraktisan.
Pada pagi hari tanggal 30 Mei 1431, pada usia 19 tahun, Joan dibawa ke pasar lama Rouen dan dibakar di tiang pancang. Ia meminta dua petugas, Martin Ladvenu dan Isambart de la Pierre untuk memegang salib di belakangnya. Seorang prajurit Inggris juga membuatkan salib kayu untuk ditempatkan di dadanya.
Menurut serial Drunk History yang ditayangkan di kanal Youtube Comedy Central, Joan kerap memanggil Yesus dan ketiga utusannya St. Michael, St. Catherine, dan St. Margaret ketika dibakar. Belakangan, algojo Geoffroy Therage menyatakan bahwa dirinya sangat takut dikutuk karena ia telah membakar wanita suci.
Pengaruh Joan terhadap masyarakat Prancis terus berlanjut meskipun ia telah tiada. Berkat tuntutan ibunya, Isabelle Romee, Joan diputuskan tidak bersalah dan nama baiknya dipulihkan oleh pengadilan. Perempuan yang dijuluki La pucelle atau sang dara tersebut pun diangkat sebagai simbol nasional Prancis oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1803.
Kisah Joan memang ajaib dan penuh dengan misteri. Gadis yang taat agama secara tiba-tiba mendapatkan bisikan untuk membebaskan Prancis. Kelly DeVries, sejarawan Amerika mengatakan Tidak ada seorang pun dari Abad Pertengahan, baik laki-laki atau perempuan, yang menjadi subyek penelitian melebihi Jeanne d'Arc karena hal tersebut.
Penulis : Rizky Fabian
Editor : Hammam Izzuddin
Comments