top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Kebungkaman oleh Bahasa Laki-laki


Sumber foto : Fimela


Terbatasnya ruang gerak perempuan dalam dunia karier masih menjadi permasalahan gender hingga saat ini. Konstruksi sosial dan kultural menciptakan adanya kekuasaan di tangan laki-laki, sehingga perempuan selalu menjadi pihak dibawahnya. Kesempatan perempuan untuk berperan aktif dalam suatu pekerjaan menjadi berkurang akibat adanya konstruksi tersebut.


Mila Rahmania, mahasiswi Sastra Arab UGM ini menjadi salah satu korban konstruksi tersebut. Keaktifannya dalam mengikuti suatu organisasi membuat dirinya diminta menduduki suatu jabatan didalamnya. Akan tetapi, ia hanya bisa menduduki jabatan yang lebih rendah dari laki-laki.


“Kita (kaum perempuan) ingin mencalonkan diri sebagai ketua umum, namun beberapa pihak laki-laki meminta atau malah melarang dan menyarankan untuk menduduki jabatan sebagai wakil atau sekertaris saja,” jelasnya ketika kami hubungi melalui Whatsapp Senin (30/11).


Selain Mila, salah satu mahasiswi Teknologi Geologi UNMUL, Gatrik (22) juga pernah menjadi korban adanya dominasi laki-laki. Ia sering menyampaikan aspirasinya untuk membentuk ruang lingkup aman bagi perempuan. Akan tetapi, sering diabaikan begitu saja oleh kaum laki-laki.


“Ketika di musyawarah, baik besar maupun kecil, pendapat saya yang mengusahakan ruang lingkup lebih aman untuk perempuan cenderung diabaikan karena menurut mereka ribet," ujarnya melalui direct message Twitter Minggu (29/11).


Terpinggirnya kaum perempuan oleh dominasi laki-laki diawali dengan konstruksi bahasa yang terbentuk dan digunakan oleh kaum laki-laki. Kurangnya pemahaman perempuan atas bahasa yang dibuat oleh laki-laki mengakibatkan perempuan terkesan sedikit tertinggal dan akhirnya perempuan menjadi objek penderita oleh kaum yang lebih berkuasa.



“Ketika berdiskusi maupun berargumen, mereka cenderung menggunakan kata-kata yang terlalu disederhanakan seakan-akan saya tidak bisa menangkap maksud mereka. Bahkan, di dalam kelas pun terkadang seperti itu,” kata Gatrik.


Mila juga sering mendapatkan kata atau kalimat dari kaum laki-laki yang cenderung merendahkan kemampuan dari perempuan. “Aku mengalaminya di beberapa event saat aku jadi panitianya, juga di kehidupan sehari . Biasanya mereka bilang, “jangan sok kuat, jangan sok bisa, udah kita (kaum laki-laki) aja, kamu ngga bisa,” ujar Mila.


Masuknya kaum perempuan dalam kelompok minoritas akibat adanya dominasi laki-laki atas penggunaan bahasa mereka dibahas lebih lengkap oleh Cheris Kramarae dalam Muted Group Theory.


Dalam teorinya tersebut, Kramarae menyatakan bahwa bahasa secara harfiah merupakan sebuah man-made construction, dimana perempuan menjadi the muted group (grup yang terbungkam) dan tidak bisa bebas mengatakan apa yang ingin mereka katakan. Hal tersebut dikarenakan kata-kata dan norma-norma yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu laki-laki.


Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Dr. Firman Kurniawan S menyatakan kebungkaman perempuan merupakan pasangan dari ketulian pria. Sesungguhnya perempuan maupun anggota kelompok bawah tetap bicara. Tapi karena jatuh pada telinga yang tuli, mereka berhenti untuk mengemukakan pendapatnya. Suatu mekanisme pembisuan yang sistematis.


Terjadinya pembungkaman tersebut mulai merambah pula di media sosial. Kemudahan yang ditawarkan media sosial untuk menyampaikan pendapat mulai dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai tujuan tertentu. Tak jarang, terjadilah pembisuan pada ujung adu pendapat yang kemudian berujung pada pembisuan. Muncul kelompok yang terpaksa harus bungkam, karena pendapatnya ditindas.


“Jika diamati seksama, ada berbagai modus yang melahirkan pembisuan pendapat. Ada kelompok dengan tujuan tertentu, yang menggunakan mekanisme bahasa menyebut tujuannya mulia, sehingga harus didukung pihak lain. Sedangkan, terhadap pendapat yang berlawanan, akan disematkan tudingan dengan mekanisme bahasa pula. Sebutannya, “tak sensitif gender”, “SJW”, “pansos” dan lainnya,” tambah Firman dilansir melalui sindonews.com.


Penulis : Fatika Febrianti

Editor : Annisya Asri

10 views0 comments

Comments


bottom of page