top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Kekerasan Mengintai Jurnalis Perempuan


Sumber foto : metrojambi


Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar webinar dengan tema “Jurnalis Perempuan dan Kekerasan Yang Mengintai”. Webinar tersebut diselenggarakan pada 25 November 2020 sebagai bentuk gerakan kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan hingga 10 Desember mendatang.


Webinar ini dihadiri oleh beberapa jurnalis perempuan dari tiga media berbeda. Yaitu Ika Ningtyas (Tempo.co), Ira Rachmawati (kompas.com) dan Alsih Marselina (sultengnews.com). Para pembicara mengawali diskusi dengan menceritakan tindakan tidak mengenakan yang pernah mereka alami sebagai jurnalis perempuan.


Pada rangkaian acara pertama, diskusi dibuka oleh Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia- Abdul Manan. Ia menyebutkan bahwa jurnalis perempuan menjadi perhatian sendiri bagi AJI. Jurnalis perempuan di AJI memang belum besar. “Kita ingin memberikan highlight pada isu ini. Agar jurnalis perempuan lebih mendapatkan perhatian,” pungkasnya.


Kekerasan terhadap jurnalis perempuan, masih sering mengintai ketika bertugas di lapangan. “Untuk itu diskusi ini bertujuan mendorong awareness public tentang tantangan jurnalis perempuan,” tambahnya.



Beberapa kasus kekerasan jurnalis perempuan


Alsih Marselina Jurnalis Sultengnews.com, menceritakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum kepolisian saat ia meliput demo Undang-Undang Cipta Kerja pada 8 Oktober lalu. “Sore itu, saat saya sedang mengambil gambar untuk kebutuhan liputan. Selang 10 menit kemudian, terjadi chaos yang mengakibatkan saya dan dua teman saya terjebak dalam barikade,” ungkapnya.


Saat itu, Alsih ditanya oleh oknum aparat kepolisian perihal identitasnya, namun identitas yang menunjukkan bukti bahwa dirinya seorang wartawan tidak dipercayai oleh oknum aparat keamanan, “Setelah itu, kami disuruh tunduk, jongkok dan kemudian ya dipukuli. Hingga akhirnya muncul lebam di pipi sebelah kiri dan di dekat mata saya,” jelasnya.


Kekerasan lain juga dirasakan Ira Rachamawati, Editor Kompas.com. Pada 2017 lalu melalui SMS dan telepon, Ira mendapat ancaman pembunuhan dan perkosaan. Kekerasan itu ia terima pasca meliput demo tolak tambang di Banyuwangi.


“Setelah saya menulis berita di hari kejadian, malam harinya saya merasa ada yang mengawasi dalam perjalanan pulang. Ketika sudah tengah malam, ada SMS dan telepon masuk berisi ancaman pembunuhan dan pemerkosaan. Sampai hari ini pun, saya tidak tahu siapa pengirimnya,” paparnya.


Pada hari itu, Ira memilih mendatangi kantor kerjanya dan melapor kepada AJI Jember perihal kekerasan seksual yang ia alami. Ira mengaku bahwa kejadian yang menimpanya itu, memberikan trauma psikis yang membuatnya memilih berdiam diri di rumah saja selama dua minggu.


Cerita berlanjut, kali ini Ika Ningtyas menjelaskan tentang peretasan yang dialaminya. Ia mengalami kekerasan berupa doxing. Doxing adalah kegiatan melacak dan membongkar identitas seseorang atau menyebarluaskan tanpa persetujuan pihak yang bersangkutan. Ika merupakan Jurnalis cek fakta Tempo.co yang bertugas memberikan verifikasi terhadap penyebaran informasi hoaks.


Kasus ini berawal pada rentang bulan April hingga Agustus 2020 ketika tim cek fakta tempo menerbitkan empat artikel hasil verifikasi terhadap klaim dokter hewan terkait Covid-19 yang terlanjur tersebar luas dan menyesatkan.


“Kemudian pada tanggal 1 dan 2 Agustus, kami pun mengalami doxing. Dokter ini mengambil foto pribadi yang sudah dipublis di facebook dan menyebut kami sebagai teroris covid. Judul artikelnya ‘Lawan Teroris Wabah dua Jurnalis Tempo’. Ada foto saya dan kak Inang. Ia menuduh kami sebagai jurnalis penyebar ketakutan,” lanjutnya.


Postingan itu berbuntut viral. Beruntung, sebelumnya ia sudah mengamankan data-data pribadi, seperti foto anak, suami, dan informasi lainnya. Sehingga ketika doxing ini terjadi, tak ada informasi privasi lain yang tersebar.


Baik Alsih, Ira maupun Ika berharap, pengadaan SOP atau panduan khusus bagi perusahaan media terkhusus perusahaan di daerah sangat diperlukan guna memberikan rasa aman bagi jurnalis perempuan ketika bertugas.


Penulis : Annisa Aulia

Editor : Annisya Asri

16 views0 comments

Comments


bottom of page