Sumber foto : Slate.com
Aktor pemeran film Juno (2007), Ellen Page mengumumkan bahwa dirinya telah memutuskan untuk menjadi transgender serta mengganti namanya menjadi Elliot Page, Rabu (2/12) lalu. Selain itu pengumuman yang ia unggah di akun twitternya ia manfaatkan juga untuk mengangkat kembali isu diskriminasi terhadap kaum transgender.
Dalam unggahannya tersebut, ia mengungkapkan perasaan atas jati diri yang telah ia temukan dan mulai jalani sekarang. “Saya merasa sangat bersyukur atas orang-orang luar biasa yang telah mendukung saya sepanjang perjalanan ini. Saya tidak bisa mulai mengungkapkan betapa luar biasa rasanya akhirnya mencintai siapa saya, cukup untuk mempertahankan jati diri saya,” ungkapnya.
Keputusannya tersebut pun didukung oleh beberapa artis Hollywood lainnya, seperti James Gunn, Milley Cyrus, hingga Mark Ruffalo. Mereka turut memberikan selamat melalui cuitan di kolom komentar unggahan Pages.
Isi pesan Elliot Page yang diunggah di akun twitternya (sumber foto : tangkapan layar pribadi)
Dibalik sukacitanya tersebut, ternyata Elliot Page menyimpan kekhawatiran atas pilihannya sebagai transgender. Ketakutan akan invasi, kebencian, bahan lelucon, hingga kekerasan yang masih marak terjadi pada kaum transgender.
“Sukacitaku nyata, tapi juga rapuh. Sebenarnya, meski sangat bahagia sekarang mengetahui banyak hak istimewa yang saya bawa, saya juga takut,” tulisnya.
Baca juga : 15 Bentuk Kekerasan Seksual
Elliot Page dikenal sebagai aktor yang memulai karirnya di Kanada pada tahun 1997. Salah satu filmnya yang berjudul Juno tahun 2007 menghantarkan dirinya masuk nominasi Academy Award, juga menjadikan dirinya masuk nominasi Oscar.
Pada tahun 2014 ia menyatakan dirinya sebagai homoseksual dan kemudian menikahi koreografer tari, Emma Portner. Salah satu nomine piala Oscar ini memang terkenal vocal dalam menyuarakan hak LGBTQ dan transgender. Bahkan ia menyampaikan dukungannya pada komunitas transgender lewat tulisannya.
“Saya akan melakukan semua yang saya bisa untuk mengubah dunia ini lebih baik,” tulis Elliot di kalimat terakhirnya.
Hingga saat ini, tingkat diskriminasi terhadap transgender masih tinggi di seluruh dunia. Masyarakat luas masih banyak yang menolak keberadaan transgender dan menimbulkan sebuah fenomena “transphobic”. Bahkan kebencian tersebut berujung pada kekerasan hingga pembunuhan.
Menurut laporan dari Human Right Campaign, pada tahun 2020 setidaknya 40 transgender atau orang yang tidak sesuai gender di Amerika Serikat ditembak atau dibunuh dengan cara kekerasan lainnya. Sebagian besar adalah wanita transgender kulit hitam dan Latin. Angka ini merupakan yang tertinggi dari data yang dilacak semenjak tahun 2013.
Sedangkan di Indonesia sendiri, dikutip dari web GSHR Udayana, menurut Halim (2019) dalam laporannya #HidupTransBermakna, terjadi peningkatan kasus pembunuhan transpuan dari 2014-2019 dengan jumlah terendah 2 kasus pada 2014 dan tertinggi 6 kasus pada 2019. Akan tetapi, kasus tersebut merupakan kasus yang tercatat atau terdokumentasikan, sehingga masih ada kemungkinan lebih banyak kasus yang belum dilaporkan.
Masyarakat Indonesia masih belum menerima akan keberadaan transgender. Mereka menganggap hal tersebut merupakan perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai agama karena melanggar kodrat Tuhan.
“Saya pribadi tidak mendukung transgender, karena hal tersebut aneh bagi saya. Setiap orang udah ditakdirin buat jadi perempuan atau laki-laki, jadi kaya ga etis aja gitu karena malah melanggar takdir Tuhan,” kata Ryan (20) ketika kami hubungi via Whatsapp Rabu (9/12).
Walaupun begitu, beberapa orang ada yang menerima akan keberadaan transgender, salah satunya Dina Mila Prasasti (20). Mahasiswa jurusan Hukum Universitas Brawijaya ini tidak mempermasalahkan adanya kaum transgender. Atas dasar hak pribadi yang dimiliki setiap manusia, ia berpendapat bahwa para transgender juga berhak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing, termasuk keputusan dalam memilih gender.
“Hidup itu kan pilihan. Mereka tau apa yang terbaik untuk hidup mereka. Jadi, ya terserah mereka, selama keputusannya tersebut tidak mengganggu hidup orang lain,” ujar Dina saat diwawancarai Rekampuan Rabu (9/12).
Memutuskan untuk menjadi seorang transgender merupakan salah satu keputusan yang berat bagi seseorang. Ditambah kondisi lingkungan yang masih belum bisa menerima keberadaan mereka, membuat para transgender semakin sulit untuk menunjukkan eksistensinya didunia luar. Dukungan dari berbagai pihak masih sangat diperlukan untuk menghentikan diskriminasi bagi kaum transgender dan kaum-kaum lainnya.
Penulis : Fatika Febrianti
Editor : Hammam Izzuddin
Comments