Ketika Media Sosial dimanfaatkan Untuk Melaporkan Kejahatan Seksual
- Redaksi Rekampuan
- Dec 18, 2020
- 3 min read

Sumber foto : medcom.id
Di pertengahan tahun 2020 yang lalu, media sosial terutama Twitter dipenuhi oleh utas yang menceritakan pengalaman penyintas dari kejahatan seksual. Selain itu, beberapa dari utas-utas tersebut juga mengungkap si pelaku hingga terkenal dengan budaya “spill” dikalangan warganet. Kebanyakan utas tersebut pun berujung pada trending topic dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat luas.
Utas mengenai kasus kejahatan seksual diawali oleh sebuah cuitan yang diunggah oleh pemilik akun @jerujiemas. Dalam utas tersebut, dia menampangkan wajah si pelaku kejahatan seksual yang berinisial NC. Pelaku mendapat kecaman dari warganet karena telah memperlakukan pacarnya, R sebagai budak sexnya.

Utas kasus Gilang Jarik yang diunggah oleh @m_fikris
Sumber foto : hasil tangkapan layar pribadi
Selain itu, ada juga kasus yang akhirnya menjadi viral yaitu kasus Gilang si pemiliki fetish kain jarik. Kasus ini pertama kali diungkap oleh Mufis, yang juga menjadi salah satu korban. Dalam akun twitternya @m_fikris, ia mengungkapkan bahwa pelaku sering meminta dirinya untuk mengirimkan foto dengan tubuh yang berlilitkan kain jarik yang ternyata pelaku gunakan untuk pemuas seksualnya. Tweet tersebut memperoleh 70 ribu reply atau balasan dan banyak diantaranya yang juga mengaku menjadi korban dari Gilang.

Utas mengenai pengalaman Iscya saat hampir mengalami pelecehan seksual yang diunggah melalui aku @makesumfun
Sumber foto : hasil tangkapan layar pribadi
Ramainya utas yang mengungkapkan kejahatan seksual tersebut ternyata juga mendorong para korban lainnya untuk berani speak up. Seperti yang dilakukan oleh Iscya Pramudiva (18) pemilik akun @makesumfun yang membuat utas pada Sabtu (12/12) lalu. Dalam utasnya tersebut, ia menyampaikan pengalamannya saat hampir menjadi korban pelecehan seksual oleh teman laki-lakinya. Butuh keberanian tinggi bagi seorang penyintas dari kejahatan seksual untuk menceritakan pengalaman buruk mereka kepada orang lain.
“Sumpah, aku sendiri butuh banyak kekuatan buat cerita dan buat memilah-milah kata. Jadi pas aku ngetik (membuat utas), pokoknya shock-nya masih kerasa, pusing dan gugupnya masih ada, tremor juga. Dan beruntungnya ada teman-temanku yang mendukung, jadi aku berani buat ceritain ini semua ke twitter,” ujarnya saat kami hubungi via Direct Message Instagram Kamis (17/12) lalu.
Kebanyakan dari korban kejahatan seksual memang memilih untuk diam dan enggan melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwajib.
“Awalnya salah satu temenku ada yang mau ngelaporin ke pihak berwajib, tapi aku gamau. Karena kondisi keluargaku yang tidak memungkinkan gara-gara pandemi dan aku juga ngerasa kalau kasus ini belum terlalu berat dan ga perlu buat dilaporin ke pihak berwajib,” ujar Iscya.
Berdasarkan data yang dilansir dari Asumsi.co, hampir 80% korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebanyak 20% dari mereka khawatir akan menerima cap negatif dari masyarakat, 13% merasa polisi tidak akan membantu mereka, dan 8% menganggap perkosaan yang mereka alami tidak cukup penting untuk dilaporkan. Sementara itu, dari laporan yang masuk ke polisi hanya 2% pelaku yang berakhir di penjara.
Rendahnya perlindungan hukum di Indonesia juga menyebabkan terbungkamnya kasus kejahatan seksual di masyarakat. Siti Mazuma, Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) mengatakan bahwa sistem hukum Indonesia belum berpihak pada korban.
“Kalau perempuan sudah menjadi korban kekerasan seksual, bukan proses hukum yang akan dikedepankan, tapi orang akan sibuk menyalahkan si korban: ‘kenapa nggak lapor? Kenapa diam saja?’ kata Zuma.
Keberanian para korban untuk speak up dan kesadaran masyarakat akan maraknya kejahatan seksual dilatarbelakangi oleh adanya gerakan #metoo yang kembali disebarluaskan oleh artis Hollywood, Alyssa Milano pada tahun 2017 lalu. Alyssa menggunakan tagar tersebut dalam postingannya setelah mendengar pengakuan Rose McGowan atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein. Analisis dari New York Times telah menemukan bahwa, sejak publikasi eksposur tersebut, setidaknya 200 pria terkemuka telah kehilangan pekerjaan mereka setelah tuduhan pelecehan seksual di depan umum.
Di Indonesia sendiri gerakan #metoo memang masih jarang diketahui oleh masyarakat. Akan tetapi oleh beberapa aktivis perempuan, gerakan tersebut digunakan sebagai kampanye untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya RUU PKS. Hingga akhirnya #SahkanRUUPKS menjadi trending topic di berbagai platform media sosial. Dengan adanya gerakan sosial yang disebarkan melalui media sosial nyatanya menjadi salah satu andil dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya kejahatan seksual yang akhir-akhir ini marak terjadi.
Penulis : Fatika Febrianti
Editor : Annisya Asri
Comentários