Sumber foto : hipwee
Miskonsepsi mengenai gender memang masih sering terjadi di masyarakat. Gender mengacu pada peran, perilaku, ekspresi, dan identitas yang dikonstruksi secara sosial. Gender biner pun digunakan untuk menggambarkan peran sosial tradisional bagi laki-laki dan perempuan.
Akan tetapi, tahukah kalian jika Suku Bugis menjalankan konsep gender non-biner?
Meski identik dengan masyarakat tradisional, pemikiran Suku Bugis mengenai gender nyatanya lebih modern dan progresif dari masyarakat kebanyakan. Suku Bugis beranggapan bahwa sikap maskulin tidak selalu dimiliki oleh laki-laki. Begitu juga dengan sifat feminim yang dianggap hanya dimiliki oleh perempuan.
Konsep gender yang bersifat biner memang kerap mendiskriminasi orang-orang yang dipaksa menjalankan perannya sesuai tuntutan masyarakat. Konsep ini melahirkan patriarki dan maskulinitas toxic yang menganggap laki-laki harus tangguh dan perempuan hanya boleh bermain boneka.
Istilah gender fluid pun hadir mendobrak stigma serta konstruksi sosial yang selama ini mengekang perempuan dan laki-laki. Gender Fluid adalah seseorang yang identitas gendernya tidak tetap atau berubah tergantung situasinya. Orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai gender fluid merasa tidak perlu untuk bertindak sesuai dengan stereotip jenis kelamin yang diberikan kepada mereka saat lahir dan peran sosial tradisional yang terkait.
Konsep ini dipakai oleh Suku Bugis yang memiliki 5 gender. Bahkan, konsep non-gender/gender neutrality juga dimiliki oleh masyarakat Suku Bugis. Selain orowane (laki-laki) dan makkunrai (perempuan), apa saja ketiga gender non biner yang dimiliki suku bugis?
Baca Juga : Memahami Kembali Makna Kesetaraan Gender
1. Calabai
Foto masyarakat Bugis
Sumber foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Calabai merupakan laki-laki secara biologis, tidak dapat menukarkan dirinya menjadi seorang perempuan seutuhnya, akan tetapi peran dan identitas gender dia merupakan seorang perempuan. Calabai juga menggunakan pakaian dan memiliki sifat yang feminime.
Secara etimologi, kata calabai berasal dari sala bai atau sala baine yang berarti bukan perempuan. Calabai menjalankan peran seorang perempuan seperti menyiapkan pernikahan, dekorasi, pakaian pengantin, dan lain-lain. Calabai juga bertugas untuk mempersiapkan makanan untuk tamu undangan.
2. Calalai
Keberagaman gender di suku Bugis
Sumber foto : detik.com
Calalai merupakan perempuan secara biologis akan tetapi memilih melakukan peran laki-laki dalam masyarakat Bugis. Calalai biasanya memiliki pekerjaan seperti pandai besi dan senjata. Selain itu, calalai memiliki peran untuk menjadi kepala keluarga. Calalai akan mencari nafkah serta kebutuhan keluaarga mulai dari sandang, pangan, hingga papan. Pakaian yang digunakan oleh calalai juga sama dengan orowane yang merupakan laki-laki secara biologis.
3. Bissu
Calabai, laki-laki yang memilih peran perempuan di Masyarakat Bugis
Sumber foto : bicara.co
Bissu merupakan seseorang yang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, bissu merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang hidup dengan konsep gender neutrality.
Peran gender pada Bissu (gabungan anatara laki-laki dan perempuan) akan berbeda dengan identitas gender yang lainnya. Selain dianggap sebagai orang suci dan memiliki peran sosial yang penting pada masyarakat Bugis, bissu pun tidak boleh menonjolkan salah satu identitas gendernya, baik itu sifat perempuannya atau laki-laki.
Bissu dianggap sebagai manusia sempurna karena dapat memerankan dua gender secara bersamaan. Bahkan, pada zaman dahulu, bissu dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa. Hal itu menjadikan bissu perantara antara manusia dengan dewa. Menjadi seorang bissu juga tidak dapat dipilih oleh sembarangan orang. Ia dipilih berdasarkan tanda-tanda alam yang mungkin tidak logis. Tanda-tanda itu antara lain seorang transgender, memiliki sifat kebatinan yang dapat membaca alam, dapat membaca lontar, dan beberapa tanda fisik.
Konsep 5 gender yang dianut oleh masyarakat bugis nampaknya tidak jauh berbeda dengan konsep gender fluid dan non-gender. Masyarakat Bugis memberikan setiap individu untuk memilih peran dan jalan hidupnya masing-masing. Kebebasan tersebut nyatanya masih belum dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Penulis : Mohamad Rizky Fabian
Editor : Annisya Asri
Comments