Sumber Foto : unsplash.com
Pelecehan seksual di Indonesia kerap kali terjadi, bahkan tidak mengenal ruang dan waktu. Tidak bisa dipungkiri, kini ruang publik juga menjadi salah satu lokasi yang kerap kali memakan korban. Selain itu, tempat-tempat yang seharusnya aman justru memiliki tingkat pelanggaran yang tinggi, seperti tempat pendidikan, lingkungan bekerja, hingga rumah.
Dilansir dari Catatan Tahunan (CATHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) mencatat sepanjang 2019, terdapat 431.471 kasus, ini meningkat dari tahun 2018 sebanyak 406.178 kasus, dan 2017 sebanyak 348.446 kasus.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa kasus yang terjadi setiap tahunnya mengalami peningkatan. Jika dilihat lebih lanjut, mungkin angka tersebut seperti puncak gunung es. Padahal, masih banyak orang yang mengalami pelecehan ini dan enggan melaporkan pada penegak hukum.
Survei daring yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org menemukan fakta bahwa 93% penyitas pemerkosaan tidak pernah melapor kasusnya, 6% yang melaporkan hanya berakhir pelaku bebas dari tindakan hukum, dan 1% kasus yang bisa terselesaikan secara hukum.
Berbicara mengenai pelecehan seksual tidak hanya mengarah kepada kekerasannya saja. Banyak macam yang tergolong pelecehan seksual baik secara verbal maupun non verbal. Dalam bentuk verbal bisa berupa komentar tidak pantas terhadap tubuh, bersiul, hingga ucapan yang menggoda ke arah seksual.
Sedangkan, non verbal meliputi fisik secara kontak langsung, meraba, menatap penuh nafsu, mencium. Dengan isyarat juga bisa dilakukan seperti bahasa tubuh yang bernada seksual. Pun, pengaruh psikologis dan emosional seperti ajakan kencan yang tidak diharapkan bisa dikategorikan dalam pelecehan seksual.
Segala bentuk pelecehan tersebut kerap kali dialami oleh para perempuan baik dalam ranah pribadi maupun suatu komunitas secara langsung maupun melalui media sosial.
Jika diamati lebih lanjut pada Instagram misalnya beberapa waktu lalu, seorang member girl band JKT48 berinsial A mengalami kasus pelecehan berupa pesan cabul dan gambar tidak senonoh yang dikirim oleh pelaku. Hal ini tengah ditangani oleh pihak kepolisian guna ditindak lanjuti.
Kejadian pelecehan seperti ini dapat menjerat pelaku dengan pasal 29 UU Pornografi yaitu;
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Selain pelecehan yang dialami perempuan melalui dunia maya, sering kali hal ini terjadi dalam kehidupan nyata.
Sebuah riset studi yang dilakukan oleh Value Champion di Singapura, menemukan fakta bahwa Filipina, Indonesia, dan India menjadi negara yang tidak aman bagi perempuan se Asia Pasifik.
Indonesia berada pada urutan kedua menjadi negara tidak aman bagi perempuan dikarenakan pelayanan kesehatan yang rendah, lemahnya undang-undang untuk melindungi perempuan, dan kurangnya kesadaran akan kesetaraan gender.
Penelitian tersebut terbukti benar adanya ketika Rekampuan mendapati pengakuan tersebut dari Dwi Mustikaningrum. Ia sempat menemukan kejadian yang kurang mengenakan bagi dirinya ketika ia duduk di bangku sekolah.
“Pertama kali dulu waktu Sekolah Menengah Pertama (SMP), pas itu siang hari lagi jalan keluar dari sekolahan, nggak lama ada seorang bapak berhenti diseberang jalan terus tiba-tiba aja dia ngeluarin itunya(re: alat kelamin). Terus aku sendiri cukup kaget kan, habis itu aku coba lari pergi dari situ”, ujar mahasiswi semester 5 Universitas Diponegoro (UNDIP).
Ia juga menambahkan, semasa di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pernah diganggu oleh seorang laki-laki ketika sedang di jalanan dekat rumahnya. Sempat disadari olehnya ketika dalam beberapa hari sosok tersebut selalu mengikutinya ketika pagi hari saat menuju sekolah. Puncaknya, orang asing itu berusaha menghentikan kendaraan dan mencoba menggoda perempuan 20 tahun ini tanpa motif yang jelas.
Kedua kasus diatas menjadi bukti bahwa kurangnya rasa aman bagi seorang perempuan, baik dalam kehidupan nyata maupun maya. Polemik mengenai kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di Indonesia hingga kini terkadang belum menemukan titik terang, baik keadilan bagi korban maupun sanksi jera kepada pelaku.
Hal ini tentu saja harus segera diatasi dengan cara meningkatkan kesadaraan mengenai pelecehan seksual baik bagi perempuan maupun laki-laki. Selain itu, perlunya campur tangan pemerintah Indonesia khususnya dalam mengesahkan adanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) guna menciptakan rasa aman bagi para perempuan diluar sana.
Penulis : Rizki Ardandhitya
Editor : Annisya Asri
Comments