top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Mendapat Julukan Teroris oleh Teman Sendiri



Cadar atau niqab merupakan kain penutup kepala atau wajah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Meskipun cadar bukan merupakan budaya asli Indonesia seperti halnya budaya Arab, namun sudah banyak perempuan muslimah Indonesia yang memakainya.


Sayangnya, perempuan bercadar kerap mendapat penilaian miring dari sebagian orang yang belum mengenalnya. Tidak sedikit dari mereka harus bersabar lantaran sering mendapatkan perlakuan tidak baik di lingkungan sekitar, seperti pandangan sinis, bahkan sampai menyebut mereka sebagai teroris.


Seperti salah satu mahasiswa semester lima yang sedang menempuh pendidikan S1 Teknik Kimia di Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Afra Fauziah. Sebagai mahasiswa rantau, ia memutuskan memakai cadar pada semester awal perkuliahan. Cadar menjadi sebuah alat pelindung diri untuknya. Menjadi anak tunggal yang jauh dari orang tua, membuatnya sadar akan tanggung jawab besar dan harus pandai melindungi diri.


Hijrahnya tersebut tidaklah semudah seperti apa yang kita bayangkan. Proseslah yang membuatnya sampai kepada titik ini. Berawal dari memakai masker, memakai rok, beralih ke gamis hingga memantapkan diri untuk memakai cadar. “Dulu aku tidak langsung pakai cadar, aku memulainya dengan merubah penampilanku dulu, seperti memakai rok atau gamis,” ujar Afra, begitulah teman-teman memanggilnya.


Ujian memakai cadar kerap menghampiri perempuan kelahiran 2000 itu, baik di lingkungan tempat ia berasal, maupun lingkungan kampus. Di lingkungan tempat ia berasal, Afra sempat terganggu dengan anggapan warga sekitar tentang keluarganya. Bahkan, ia dan orang tuanya pun kerap menjadi buah bibir para tetangga. Saat Afra ingin keluar rumah, ia terpaksa mengganti cadarnya untuk sementara waktu dengan masker. “Sempat dilarang juga oleh ibuku, sampai ibuku tanya, ngapain juga pakai masker, toh corona udah gak ada,” pungkasnya.


Begitu juga di lingkungan kampus. Beberapa teman yang tidak menerimanya pun mengejek dan memanggilnya dengan sebutan teroris. Rasa kesal dan marah pun ia lampiaskan cukup dengan diam. Doa lah yang menjadi kekuatan bagi perempuan 20 tahun itu dalam menghadapi segala ujian yang menghampirinya.


Seiring berjalannya waktu, lingkungan yang sebelumnya menolak terhadap penampilannya itu secara perlahan bisa menerimanya. Bahkan, mereka yang dulunya beranggapan bahwa perempuan bercadar itu monoton, gak asik, dan tidak suka bergaul adalah tidak benar.


Cerita diatas merupakan salah satu contoh bahwa sampai saat ini, masih ada kesenjangan perihal kebebasan seseorang khususnya perempuan dalam menentukan pilihannya. Bercadar bagi perempuan muslimah termasuk hak asasi manusia. Tidak sepatutnya kita menilai seseorang dari pakaian yang ia kenakan.



Penulis : Annisa Aulia

Editor : Fatika Febrianti

17 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page