top of page
Search

Menilik Gerakan #MeToo di Berbagai Negara

  • Writer: Redaksi Rekampuan
    Redaksi Rekampuan
  • Dec 19, 2020
  • 2 min read

sumber : India today


Gerakan tagar #MeToo mulai merebak di media sosial dalam upaya melawan pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Tindakan ini berusaha menunjukkan adanya kekerasan seksual diberbagai tempat, khususnya di tempat kerja.


Alyssa Milano menjadi orang yang mempopulerkan kembali tagar ini di lini masa twitter. Sebelumnya, para selebritas Hollywood menceritakan pengalamannya setelah mengalami pelecehan yang dilakukan oleh Harvey Weinstein.


“Jika semua perempuan yang pernah mengalami pelecehan atau serangan seksual menulis ‘Me Too’ pada statusnya, kita bisa menyebarkan fakta tentang besarnya kasus tersebut,” cuit Milano pada 2017.


Selang beberapa hari, cuitan tersebut ditanggapi oleh banyak orang yang turut serta menceritakan kisahnya mengenai pengalaman mereka dalam kasus pelecehan seksual.


Dilansir dari The Guardian, hampir 68 ribu orang membalas pernyataan Milano di twitter. Dari kejadian tersebut tagar #MeToo telah digunakan lebih dari satu juta kali di Eropa, Asia dan Amerika Serikat. Selain itu, Facebook juga menyatakan bahwa dalam 24 jam setelah cuitan Milano mengenai ajakan bagi para penyintas pelecehan seksual untuk bersuara mendapati respon sebanyak 4,7 juta orang yang terlibat dengan tagar tersebut, dengan lebih dari 12 juta post, komentar dan reaksi.


Kampanye #MeToo di Indonesia sendiri tidak terlalu banyak dijumpai. Menurut The Conversation, kasus Agni satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terselesaikan. Perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual disini masih harus mencari keadilan dibandingkan mendapat pertolongan yang layak.


Menurut Tunggal Pawestri, salah satu Feminis Indonesia, gerakan ini mendorong untuk terciptanya diskusi mengenai kekeasan seksual yang terjadi. Namun, kampanye ini hanya sebatas pada perempuan yang melek media sosial dan perempuan di kalangan menengah atas.



Selain itu, penyebab gerakan #MeToo tidak terjadi di Indonesia dikarenakan adanya budaya patriarki yang masih mengakar, nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang sensitif terhadap gender.


Selain di Indonesia, gerakan #MeToo juga terjadi di beberapa negara, Korea Selatan misalnya. Jaksa wanita Seo Ji-hyun menulis kasus pelecehan yang dialaminya dan pelaku merupakan atasannya dalam kantor kejaksaan. Dalam dunia politik, mantan Gubernur Chungcheong Selatan Ahh Hee-Jung yang akan mencalonkan diri sebagai Presiden dituduh oleh sekertarisnya Kim Ji-eun dengan tuduhan kekerasan seksual.


Kampanye #MeToo di Korea Selatan berguna untuk mengantisipasi sikap yang merendahkan kalangan wanita dan adanya tindakan kekerasan seksual. Namun, korban disana malah dianggap sebagai menghancurkan reputasi dan efek samping konflik gender antara perempuan dan laki-laki.


Berbeda dengan di negara Arab, negara konservatif ini dari sudut pandang perempuan tidak mudah untuk menceritakan mengenai pengalaman pelecehan yang dihadapi karena adanya sarkasme ketika berbicara mengenai kekerasan berbasis gender di media sosial. Faktor lain seperti regulasi utamanya sanksi bagi pelaku pelecehan seksual juga tidak ada.


Kampanye #MeToo mendorong adanya para penyintas pelecehan seksual memiliki wadah untuk berbicara guna melawan adanya perilaku seksis macam ini. Gerakan ini harus lebih digalakkan agar para perempuan diluar sana dapat menilik pengalaman dari orang lain dan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap tindak kekerasan maupun pelecehan seksual.


Penulis : Rizki Ardandhitya

Editor : Fatika Febrianti

Comments


Susunan Redaksi

Pemimpin Umum

Malwa Hazwani

hammam bw.png
icak bw.png

Pemimpin Redaksi

Editor

Editor

Fatika Febrianti

Hammam Izzudin

Annisya Asri

fabian bw.png

Reporter

Rizky Fabian

annisa.png

Reporter

giga bw.png

Kreatif

dandi bw.png

Kreatif

Annisa Aulia

Giga Baskoro

Rizki Ardandhitya

  • Instagram
bottom of page