Sudah lebih dari seminggu semenjak kejadian itu menimpaku. Tapi, hingga sekarang dalam benak ini masih tergambar dengan jelas akan kejadian saat itu. Perasaan campur aduk yang sulit kupahami selalu menghantui setiap kali sekelebat memori itu kembali menghampiri. Sampai sampai aku enggan melihat setiap moment behind the scene yang telah diabadikan oleh tim kru.
Antara sedih, marah, menyesal, merasa bersalah, tetapi tidak bisa aku utarakan begitu saja. Mungkin orang lain tidak tau apa yang terjadi sebenarnya. Tipu muslihat muka si tua itu berhasil menutupi kejadian ini begitu saja. Si tua yang pertama kali kulihat memang seperti baik, dan aku tidak berekspektasi apapun kalau dia ternyata memiliki sisi lain dibalik topeng tersebut.
Sebagai tim crew make up & wardrobe, aku selalu dekat dengan talent dan kadang melakukan kontak fisik dengan mereka. Baik untuk merias muka, merapikan baju, atau memakaikan properti lain pada tubuh talent. Bahkan, ruang kru kami bersebelahan dengan ruang talent. Untuk menunjukkan profesionalitas, kita juga sering bersama dengan talent ketika di lokasi set. Si tua yang aku bicarakan di awal itu merupakan salah satu talent dalam project kali ini. Hingga kejadian pertama yang membuat ku sadar kalau ada yang tidak beres dengan orang itu pun terjadi.
Ketika lokasi set sudah siap untuk proses rekaman, Asisten Sutradara (Astrada) memanggilku untuk merias wajah talent. Dia, duduk dengan manis di kursi set yang sudah disiapkan. Mulai lah ku poles wajahnya dengan sedikit bedak agar tidak terlihat berkilau di kamera. Dengan sopan ku memintanya untuk menutup matanya agar tidak kelilipan. Dia pun menutup matanya, lalu tiba-tiba dia menggenggam lengan tangan ku dan mengatakan, “kalau saya tutup mata, nanti tidak kelihatan dong wajah cantikmu,” seketika aku terkejut ketika dia mengatakan itu.
Digenggam dengan tiba-tiba saja aku sudah terkejut, ditambah pula dia mengatakan hal seperti itu. Mungkin orang lain akan menganggap hal itu sebagai pujian atau becandaan. Tetapi, aku tidak bisa mengatakan hal itu demikian. Aku bisa membedakan dengan jelas kalau itu bukan.
Sejak kejadian tersebut, aku merasa ingin sekali menjauh dari si tua itu. Tapi, bagaimana dengan pekerjaanku? Aku harus selalu bersikap profesional dengan tetap melakukan tugas seperti seharusnya. Aku masih menyembunyikan peristiwa sebelumnya dengan yang lain. Jadi, aku pun terpaksa harus meladeni si tua itu. Bahkan, setiap aku berpapasan dengan nya, tiba-tiba saja dia memegang punggung atau pundakku. Aku selalu terkejut dengan sentuhan-sentuhan si tua ini. Untuk memberikan senyum kecil padanya pun susah.
Aku benar-benar tidak bisa mentolerir lagi hal tersebut. Aku pun menceritakan hal tersebut ke crew lain. Tanpa ku duga, ternyata mereka pernah mengalami hal yang sama, terutama kru perempuan. Di pegang tanpa alasan, meminta akun sosmed mereka untuk bertukar pesan, hingga bahkan ada yang dicium tiba-tiba. Bahkan salah satu talent pendukung juga menceritakan kalau si tua ini memang sudah terkenal suka melakukan hal seperti itu. Kru lain yang pernah bekerja dengan si tua juga mulai berhati-hati dengan nya.
Mendengar hal itu, aku pun mulai sadar jika speak up akan kejadian kejahatan seksual seperti itu dari awal akan meningkatkan kewaspadaan kami sebagai kaum perempuan. Mungkin jika aku memberitahukan sejak awal bagaimana perlakuan dia yang sebenarnya, perasaan campur aduk ini tidak akan menghinggapi ku hingga sekarang.
Tulisan ini merupakan cerita kiriman kontributor tentang pengalaman seputar ketidakadilan berbasis gender, kekerasan seksual, hingga kekerasan dalam hubungan.
Kontributor : Fatika Febrianti
Editor : Hammam Izzuddin
コメント