Menjadi perempuan kerap dipandang sebelah mata ketika berhadapan dengan hal-hal yang berbau kemandirian. Perempuan kadang dipandang sebagai mahluk yang lebih lemah, lebih emosional dan tidak rasional. Stereotip ini telah turun-temurun diturunkan dari generasi ke generasi oleh nenek moyang kita. Namun beberapa dekade kebelakang berbagai negara termasuk Indonesia cukup vokal terhadapa isu-isu feminisme dan kesetaraan gender.
Jika berbicara mengenai isu perjuangan mengentaskan stereotip hegemoni patriaki di Indonesia tentu tak lepas dari sepak terjang Raden Ajeng Kartini. Ia merupakan bangsawan Indonesia yang menjadi pahlawan nasional karena usaha-usaha nya dalam memajukan pendidikan dan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya bagi perempuan. Harapannya di kemudian hari perempuan Indonesia dapat menjadi perempuan yang terdidik dan Independen.
Usaha dari R.A. Kartini dan para pejuang perempuan lainnya dalam memperjuangkan hak perempuan, mengantarkan perempuan Indonesia menjadi pribadi yang mandiri dan dapat diandalkan. Sebut saja Presiden ke 5 Indonesia yaitu Megawati Sukarnoputri, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani yang menjabat kembali dalam Kabinet Indonesia Maju, lalu ada Susi Pudjiastuti yang sempat menjadi Menteri Kelautan era Kabinet Kerja. Beberapa nama diatas merupakan bukti bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi sosok yang independen dan dapat berdiri kokoh diatas kakinya sendiri.
Kini menjadi perempuan independen merupakan goals bagi banyak generasi muda perempuan Indonesia saat ini. Laily Nur Aisah salah satunya. Mahasiswi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Ia memaparkan pandangannya mengenai arti perempuan independen.
“Perempuan Independen secara sempit menurutku adalah perempuan yang berkerja dan punya penghasilan sendiri. Tapi kalo dipandang dari sudut pandang lebih luas perempuan independen itu perempuan yang berdiri diatas kakinya sendiri tanpa bertumpu pada laki-laki, semacam bisa melakukan sesuatu atau make a choice tanpa belenggu atau pengaruh laki-laki dan bisa bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kenapa aku bilang ga bertumpu pada laki laki, karena konsepnya perempuan independen bukan 'orang yang independen',” ujar mahasiswi fakultas hukum tersebut.
Laily merupakan mahasiswa yang acapkali menyabet gelar pada lomba karya tulis ilmiah di bidang hukum. Selain aktif dalam berbagai lomba, Laily juga sering didaulat menjadi pembicara pada forum diskusi mahasiswa hukum di kampusnya.
Sama halnya dengan Laily, Klaranydia Amandita seorang Mahasiswi UPN “Veteran” Yogyakarta , juga mempunyai pandangan yang sama terkait dengan pentingnya menjadi perempuan independen.
“Menjadi seorang perempuan menurut saya harus mempunyai pendirian dalam hidupnya. Perempuan harus bisa berdikari, bekerja keras, mandiri, tidak bergantung pada orang lain dan tidak merasa gender adalah batasan,” tukas nya saat dihubungi rekampuan melalui Whatsapp.
Klara menambahkan jika menjadi perempuan tidak cukup hanya dengan masak, macak, dan manak, sebuah stigma filosofis jawa yang mengambarkan peranan perempuan jawa pada masa lampau. Filosofi ini lah yang didobrak oleh R.A. Kartini.
Berkat hal itu, kini setiap perempuan bebas menentukan jalannya sendiri, tanpa terikat dengan pihak lain. Menjadi perempuan independen berarti mempunyai kontrol penuh atas dirinya, karirnya, dan kebahagiannya.
Penulis : Giga Baskoro
Editor : Fatika Febrianti
Komentar