top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Rasisme dan Seksisme, Antara Ada dan Tiada

Updated: Nov 27, 2020



Terpilihnya Kamala Harris sebagai Wakil dari Joe Biden pada pemilihan Presiden di Amerika Serikat tahun ini masih diwarnai oleh isu rasisme dan seksisme. Banyak kecaman juga terjadi pada perempuan-perempuan lain yang mencalonkan diri sebagai anggota Senat dan DPR. Dengan jumlah pemilih tahun ini yang meningkat dan didominasi oleh kaum perempuan, menandakan mulai tergerusnya isu-isu tersebut di kalangan masyarakat Amerika Serikat.


Kamala Harris sebagai Wakil Presiden dengan latar belakang multi-etnis serta merupakan perempuan pertama yang memiliki jabatan tersebut di Amerika Serikat. Dengan latar belakangnya, Harris sering mendapat kecaman dari berbagai pihak. Bahkan serangan tersebut dilontarkan oleh Trump dengan menyebut Harris sebagai “monster” dan seorang komunis.


Isu rasis dan seksisme telah melekat sejak lama pada setiap pemilihan di Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan oleh Brian F. Schaffner dari Political Sience of Thuft University, menujukkan bahwa sikap terhadap minoritas dan perempuan sudah menjadi prediktor signifikan suara DPR pada tahun 2016, dan kemudian menjadi lebih buruk pada tahun 2018.


Pasca tewasnya George Flyod, isu rasisme semakin mencuat di Amerika Serikat. Akibat kematiannya, muncullah gerakan Black Lives Matter. Semenjak adanya aksi tersebut, isu rasisme mulai di gaungkan kembali dalam pemilihan tahun ini dan menjadi bahan debat terbuka antar calon Presiden.


Permasalahan gender dari seorang pemimpin juga terjadi beberapa tahun kebelakang yang membuat mereka mundur. Sebelum Kamala Harris, ada Geraldine Ferarre sebagai Wakil dari Walter Mondane dari Partai Demokrat pada pemilihan presiden 1993, juga Sarah Palin yang ditunjuk John McCain dari Partai Republik untuk menjadi calon Wakil Presiden dalam pemilihan Presiden 2008. Selain itu, Hillary Clinton yang mencalonkan diri menjadi Presiden melawan Trump pada pemilihan tahun 2018 juga mengalami hal yang sama.


Pakar politik Dr. Ratri Istania dari Loyola University, Chicago mengatakan perjuangan perempuan Amerika Serikat di kancah politik belum selesai sejak seabad lalu. Pengakuan hak perempuan untuk memberikan suara belum tentu bisa membawa mereka duduk di lembaga legislatif dan eksekutif dengan mudah. Adanya peningkatan pada jumlah perempuan yang ikut bertarung maupun yang memberikan suara sejak pemilihan Presiden tahun 2018 menunjukkan kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.


Survei yang dilakukan Pew Research atas pemilu paruh waktu pada November 2018 menunjukkan jumlah pemilih perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Sekitar 55 persen perempuan memberikan suara mereka, dibanding laki-laki yang mencapai 51,8 persen. Atau jauh lebih tinggi dibanding pemilu paruh waktu pada 2014 di mana hanya 43 persen perempuan dan 40 persen laki-laki yang memberikan suara mereka.


Keikutsertaan kaum perempuan yang lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya dalam pemilihan mendorong terpilihnya Kamala Harris sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat saat ini. Riset yang dilakukan oleh Barbara Lee Foundation mengatakan bahwa dengan melakukan aksi secara langsung yakni seperti ikut serta dalam pemilihan, membantu mereka –kaum perempuan untuk menyampaikan bahwa seorang calon perempuan juga berkualitas. Selain itu, perilaku stereotip feminism tersebut membuat pemilih melihat perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin lebih disukai meskipun tak ada kecakapan, sementara perilaku stereotip maskulin membuat pemilih melihat mereka lebih sebagai pemimpin tetapi kurang disukai.


Penulis : Fatika Febrianti

Editor : Annisya Asri

25 views0 comments

Comments


bottom of page