top of page
Search

Sosok Moorissa Tjokro yang Berkiprah di Dunia Otomotif Tesla

  • Writer: Redaksi Rekampuan
    Redaksi Rekampuan
  • Dec 28, 2020
  • 3 min read

Sumber foto : VOA Indonesia


Baru-baru ini, perusahaan mobil Tesla di Amerika Serikat meluncurkan fitur kecerdasan buatan swakemudi penuh atau Full-Self-Driving versi beta, yang kini sudah tersedia secara terbatas bagi para pengguna mobilnya. Di balik penggarapan fitur ini ada sosok warga Indonesia, Moorissa Tjokro (26), yang berprofesi sebagai Autopilot Software Engineer atau insinyur perangkat lunak autopilot untuk Tesla di San Francisco, California.

Moorissa Tjokro (26) adalah 1 dari hanya 6 Autopilot Software Engineer perempuan yang bekerja untuk perusahaan Tesla, di California. Bekerja untuk Tesla sejak Desember 2018 silam, sebelum dipercaya menjadi Autopilot Software Engineer, Moorissa ditunjuk oleh Tesla untuk menjadi seorang Data Scientist, yang juga menangani perangkat lunak mobil.



“Sebagai Autopilot Software Engineer, bagian-bagian yang kita lakukan, mencakup computer vision, seperti gimana sih mobil itu (melihat) dan mendeteksi lingkungan di sekitar kita. Apa ada mobil di depan kita? Tempat sampah di kanan kita? Dan juga, gimana kita bisa bergerak atau yang namanya control and behavior planning, untuk ke kanan, ke kiri, maneuver in a certain way (manuver dengan cara tertentu.red),” ujar Moorissa Tjokro lewat wawancara dengan VOA.


Pada kesehariannya, perempuan kelahiran tahun 1994 ini bertugas untuk mengevaluasi perangkat lunak autopilot, serta melakukan pengujian terhadap kinerja mobil, juga mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya.


Dalam mewujudkan sistem autopilot Tesla seperti yang kini bisa dinikmati para konsumen, diperlukan tekun berkerja bagi seluruh tim. Sebagai gambaran, bekerja pukul 10.00 pagi sampai menjelang tengah malam, atau durasi 60 - 70 jam satu minggu itu sangat normal di lingkungan kerja Moorissa Tjokro.


Fitur Full-Self-Driving ini adalah salah satu proyek terbesar Tesla yang ikut digarap oleh Moorissa, yang merupakan tingkat tertinggi dari sistem autopilot, di mana pengemudi tidak perlu lagi menginjak pedal rem dan gas.


“Karena kita pengin mobilnya benar-benar kerja sendiri. Apalagi kalau di tikungan-tikungan. Bukan cuman di jalan tol, tapi juga di jalan-jalan yang biasa,” tambah perempuan yang hobi melukis di waktu senggangnya ini pada VOA.


Prestasi Moorissa Tjokro


Moorissa memiliki segudang prestasi di dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik/Engineering, Matematika) yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Tahun 2011, saat baru berusia 16 tahun, Moorissa mendapat beasiswa Wilson and Shannon Technology untuk kuliah di Seattle Central College.


Tahun 2012, Moorissa yang telah memegang gelar Associate Degree atau D3 di bidang sains, lalu melanjutkan kuliah S1 jurusan Teknik Industri dan Statistik, di Georgia Institute of Technology di Atlanta.


Selain aktif berorganisasi di kampus, berbagai prestasi pun berhasil diraihnya, antara lain President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech. Tidak hanya itu, ia pun menjadi salah satu lulusan termuda di kampus, di umurnya yang baru 19 tahun, dengan predikat Summa Cum Laude.

Setelah lulus S1 tahun dan bekerja selama dua tahun di perusahaan pemasaran dan periklanan, MarkeTeam di Atlanta, tahun 2016 Moorissa lalu melanjutkan pendidikan S2 jurusan Data Science di Columbia University, di New York. Ia pun kembali menoreh prestasi dalam beberapa kompetisi, antara lain, juara 1 di ajang Columbia Annual Data Science Hackathon dan juara 1 di ajang Columbia Impact Hackacton.


Perempuan di Dunia STEM Masih Jarang


Kecintaan Moorissa akan bidang matematika dan aljabar sejak dulu telah mendorongnya untuk terjun lebih dalam ke dunia STEM, sebuah bidang yang masih sangat jarang ditekuni oleh perempuan.


Tidak saja di Indonesia, di Amerika Serikat pun statistik perempuan yang bekerja di bidang teknik masih kalah jauh dibandingkan kaum Adam. Bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika atau disingkat STEM saat ini disebutkan bahwa kesenjangan gender masih sangat tinggi.


Berdasarkan data dari National Science Foundation di Amerika Serikat, jumlah perempuan yang memiliki gelar sarjana di bidang teknik dalam 20 tahun terakhir telah meningkat, namun jumlahnya masih tetap di bawah laki-laki.


Pada kenyataannya, menurut organisasi nirlaba American Association of University Women yang bertujuan memajukan kesejahteraan perempuan melalui advokasi, pendidikan, dan penelitian, jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM hanya 28 persen. Organisasi ini juga mengatakan kesenjangan gender masih sangat tinggi di beberapa pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat dan dengan gaji yang tinggi di masa depan, seperti di bidang ilmu komputer dan teknik atau engineering.


Walau begitu, Moorissa mengatakan, ia merasa beruntung, karena tidak pernah mengalami diskriminasi atau perbedaan di dunia kerja yang masih didominasi oleh laki-laki ini. Meskipun menurutnya, perempuan cenderung lebih “nurut” dan mengiakan.


Penulis : Annisa Aulia

Editor : Hammam Izzuddin

Comments


Susunan Redaksi

Pemimpin Umum

Malwa Hazwani

hammam bw.png
icak bw.png

Pemimpin Redaksi

Editor

Editor

Fatika Febrianti

Hammam Izzudin

Annisya Asri

fabian bw.png

Reporter

Rizky Fabian

annisa.png

Reporter

giga bw.png

Kreatif

dandi bw.png

Kreatif

Annisa Aulia

Giga Baskoro

Rizki Ardandhitya

  • Instagram
bottom of page