top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Toxic Masculinity pada Penggunaan Make up oleh Pria


Sumber foto : idntimes


Make up kerap kali digunakan untuk mempercantik wajah. Kini, tak hanya perempuan yang menggunakan make up. Beberapa laki-laki menggunakan produk kecantikan untuk sekedar hobi ataupun tampil percaya diri di depan publik. Akan tetapi, pandangan toxic masculinity yang menganggap seni merias wajah hanya untuk perempuan nyatanya masih berkembang di masyarakat.


Menurut jurnal dengan judul “Makna Penggunaan Make Up Sebagai Identitas Diri” make up merupakan seni merias wajah atau mengubah bentuk asli dengan bantuan alat dan bahan kosmetik. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, make up atau kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik wajah, kulit, rambut dan sebagainya.


Kosmetik telah lama digunakan oleh masyarakat. Dilansir dari cultura.id, peradaban Sumeria merupakan peradaban pertama yang memperkenalkan konsep makeup. Orang-orang Sumeria menggunakan serangga yang bernama cochineal untuk menghasilkan warna merah di kulit dan bibir.


Tujuan dari make up memang berbeda-beda. Dahulu, make up hanya dianggap sebagai alat bantu untuk menutupi kekurangan di wajah. Kini, make up kerap digunakan untuk ajang pameran seni atau sekedar menyalurkan hobi. Hal tersebut membuat produk kosmetik semakin banyak beredar di pasaran.


Berdasarkan data yang dilansir oleh statistica.com, pasar make up secara global memiliki nilai 75,1 triliun USD pada 2020. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 85 triliun USD pada 2022 nanti.



Banyaknya produk kosmetik di pasaran juga disebabkan oleh konsumen yang semakin beragam. Tidak hanya perempuan dewasa, make up juga digunakan oleh perempuan remaja bahkan laki-laki.


Selama beberapa generasi, make up memang dipandang sebagai kegiatan "khusus perempuan". Padahal selama ribuan tahun hingga abad ke-18, laki-laki menggunakan riasan dengan berbagai cara. Baru pada pertengahan 1800-an riasan diturunkan ke salah satu ujung spektrum gender.


Penggunaan make up oleh laki-laki kembali booming setelah digunakan oleh para seniman musik. Beberapa artis era 70-an seperti Freddie Mercury dan David Bowie kerap menggunakan make up dalam video klip maupun konser langsung. Keduanya juga kerap mendapat kritikan tajam dari masyarakat yang menganggap hal tersebut salah dan tabu.


Kritik tersebut muncul akibat perilaku dan mindset toxic masculinity yang dimiliki oleh masyarakat pada kala itu. Laki-laki dianggap harus memiliki sifat maskulin dan melakukan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki lainnya. Kebebasan individu untuk mengekspresikan diri pun terkekang oleh mindset tersebut. Alhasil, para laki-laki yang hobi merias wajah mengekspresikan diri mereka secara sembunyi-sembunyi.


Belakangan, tren make up pada kaum laki-laki kembali muncul di akhir tahun 2016. Beberapa influencer di media sosial seperi James Charles dan Bretman Rock kerap membagikan tips untuk merias wajah. Tips sertra tutorial tersebut dibagikan di kanal Youtube yang mereka miliki. Kini, James Charles memiliki lebih dari 24 juta subscriber sementara Bretman Rock memiliki 8 juta subscriber.


Kehadiran mereka membuka ruang bagi laki-laki yang menyukai kosmetik. Globalisasi serta pemikiran yang semakin terbuka dengan hal baru membuat tren make up pada pria semakin berkembang. Hal ini tentu berbeda dengan dahulu dimana laki-laki tidak punya tempat sama sekali untuk mengekspresikan dirinya melalui make up.


Alex Dalley yang meluncurkan produk kecantikan pria mengatakan bahwa ada perubahan dalam tren perawatan pria. Ia juga mengatakan bahwa kini pria sadar akan perawatan dan juga kecantikan.


“Saat itu, kosmetik pria hampir tidak terdengar sama sekali keberadaannya. Mereka juga memiliki pandangan harus mengikuti stereotip dan menjadi 'pria kekar',” ujar Alex dilansir dari theguardian.com


Meski telah berubah, beberapa masyarakat masih memiliki pemikiran toxic masculinity. Hal tersebut terlihat dari kasus Reuben De Maid yang diolok karena menggunakan make up. Ruben masih berusia 12 tahun ketika mengalami perundungan tersebut.


“Orang-orang mulai memanggil saya dengan sebutan she-male (laki-laki yang menyerupai perempuan). Mereka akan memukul dan mendorong saya. Pada saat itu, perlakuan mereka membuat saya berpikir: 'Mengapa ini terjadi pada saya?" ujar Reuben dilansir dari huffingtonpost.co.uk


Tanggapan akan make up pada laki-laki pun disampaikan oleh beberapa orang Arya Purnama, mantan pegawai magang di salah satu stasiun televisi. Dirinya menyampaikan pengalamannya tentang aktor dan make up. Ia mengatakan bahwa penggunaan make up pada laki-laki merupakan suatu hal yang wajar dan tidak harus ditanggapi secara berlebihan.


“Dulu kebetulan saat magang di TV sering ketemu aktor dan semuanya menggunakan make up kok. Apalagi untuk acara on air. Hal tersebut biasa saja dan seharusnya masyarakat juga tidak perlu berlebihan terhadap laki-laki yang menggunakan make up. Kebanyakan dari aktor yang dianggap “laki” saja menggunakan make up jika tampil di TV,” ujarnya ketika dihubungi melalui Line.


Toxic masculinity memang menghambat masyarakat untuk menjadi lebih progresif. Selain menjadi akar dari patriarki, hal tersebut juga menghalangi seseorang untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Maskulinitas laki-laki sudah selayaknya tidak dinilai lebih rendah hanya karena ia menggunakan make up.


Penulis : Mohamad Rizky Fabian

Editor : Annisya Asri

7 views0 comments

Comments


bottom of page