Amber Heard (kiri) dan pasangannya Johnny Depp (kanan) kala menghadiri Venice International Film Festival pada 4 September 2015
Sumber Foto: Giuseppe Cacace/AFP Via Getty Images
Belum lama ini, publik dihebohkan dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh Amber Heard, terhadap pasangannya Johnny Depp. Kekerasan dalam hubungan yang juga dikenal dengan istilah domestic abuse tersebut memperparah posisi perempuan dalam memerangi kekerasan yang sering menimpa mereka. Amber Heard tak ubahnya parasit bagi perempuan yang sedang berjuang. Mengapa demikian?
Pada 23 Mei 2016 lalu, aktris Amber Heard melayangkan gugatan cerai kepada suaminya yang juga seorang aktor, Johnny Depp. Dalam gugatan cerai tersebut, ia juga melaporkan suaminya dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga.
Dikutip dari laman Insider.com, dirinya mengatakan Depp kerap melakukan kekerasan fisik dibawah pengaruh alkohol dan obat-obatan terlarang. Aktris yang membintangi film Aquaman tersebut juga menyatakan bahwa Depp melempar ponsel ke wajah Amber yang menyebabkan lebam di sekitar pipi. Lemparan ponsel tersebut dilakukan sesaat Amber menyiapkan surat perceraian untuk dibawa ke pengadilan.
Menanggapi hal tersebut, Johnny Depp, melalui juru bicaranya menyatakan apa yang dikatakan Amber merupakan sebuah kebohongan. Ia juga menuduh Amber mengarang cerita bohong untuk memperoleh keuntungan finansial dengan cara melayangkan tuduhan palsu.
Kasus tersebut pun selesai secara damai di luar pengadilan. Amber mencabut perintah penahanan Depp atas kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa aktris kelahiran Texas, Amerika Serikat tersebut. Selain itu, dirinya juga membatalkan permintaan biaya sebesar $ 50.000 untuk biaya pasca perceraian. Akan tetapi, Amber dikabarkan menerima dana sebesar 7 juta dollar dari Depp untuk menyelesaikan kasusnya. Keduanya resmi bercerai pada 2017.
Pada 2018, Amber Heard mengirim artikel ke The Washington Post yang menceritakan bagaimana ia kerap menerima kekerasan dari mantan suaminya. Ia juga menulis tentang Lembaga peradilan yang kerap melindungi laki-laki dari hukum pidana.
Tulisan tersebut sontak memicu amarah publik. Johnny Depp pun dianggap sebagai public enemy dan menerima berbagai serangan verbal di akun sosial medianya. Publik pun meminta perusahaan produksi film yang menggunakan jasa Depp untuk segera memecatnya.
Baca Juga : Respon Tepat Saat Temanmu Butuh Tempat Curhat
Menanggapi artikel tersebut, aktor yang memerankan karakter Jack Sparrow tersebut pun angkat bicara. Ia membantah pernyataan mantan istrinya dengan mengatakan Amber bukanlah korban melainkan pelaku. Depp juga melayangkan gugatan sebesar 50 juta dollar atas tuduhan pencemaran nama baik. Gugatan yang dilayangkan oleh aktor berusia 57 tahun tersebut berjalan di Pengadilan Amerika Serikat hingga akhir tahun 2020.
Pada tanggal 31 Januari 2020, surat kabar Daily Mail menemukan rekaman suara antara Amber Heard dan Johnny Depp. Dalam rekaman suara berdurasi 2 menit 25 detik, terdengar suara Amber yang berulang kali berteriak kepada Depp sekaligus meminta maaf dengan nada sarkastik karena sempat memukulnya.
“Maaf karena aku tidak benar-benar menamparmu. Aku hanya memukulmu, bukan meninjumu (dengan kepalan tangan). Aku tidak menyadari gerakan tanganku, tapi kau baik-baik saja, aku tidak menyakitimu, aku tidak meninjumu, aku hanya memukulmu”, ujar Amber dalam rekaman suara dikutip dari dailymail.com.
Rekaman tersebut membuat opini publik berubah. Kali ini, giliran Depp yang mendapatkan banyak dukungan dari warganet. Amber pun dianggap sebagai pembohong, pelaku kekerasan, dan juga pengkhianat perjuangan perempuan.
Kekerasan memang menjadi momok yang menakutkan bagi perempuan. Menurut data yang dilansir oleh United Nations Fund for Population Activities (UNFPA), lebih dari 33 persen perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik berbasis gender. Data tersebut diperoleh dari survei yang dilakukan terhadap perempuan dengan rentang usia 15-64 tahun.
Marianna Amiruddin, Komisioner dari Komnas Perempuan mengatakan telah terjadi 431.471 kasus kekerasan yang menimpa perempuan pada tahun 2019. Komnas Perempuan juga menyatakan selama 5 tahun terakhir, terdapat 600-800 laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Data tersebut menunjukan belum ada ruang aman bagi perempuan. Masalah tersebut diteruk oleh fakta yang menunjukan kekerasan yang menimpa perempuan lebih sering dilakukan oleh orang terdekatnya.
Oleh karena itu, kebohongan yang disampaikan Amber Heard seolah-olah merusak perjuangan perempuan untuk mendapatkan rasa aman. Amber Heard tak ubahnya seperti lintah di tengah perempuan yang sedang berjuang. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh Farrahdila Segeir, Mahasiswi Universitas Indonesia Jurusan Kriminologi.
Mahasiswi yang kerap menyuarakan isu tentang kesetaraan gender ini juga mengatakan kasus ini membuktikan pelaku kekerasan memiliki sifat manipulatif dan juga berbahaya. Perempuan yang mengikuti International Women’s Day pada 8 Maret 2019 itu juga menjelaskan tentang tujuan dari gerakan #MeTooMovement.
“Amber Heard ibaratnya seperti parasit di dalam gerakan #MeTooMovement. Jika dianalogikan lebih lanjut, Amber merupakan lintah terhadap gerakan yang salah satu purposenya adalah pemberdayaan bagi para penyintas kekerasan,” ujar Perempuan yang akrab disapa Farrah ini.
Dirinya juga menambahkan pengabaian korban kekerasan bukanlah hal baru. Ia juga mengapresiasi reaksi warganet setelah menemukan fakta Amber merupakan pelaku, bukannya korban.
“Pengabaian korban bukanlah hal yang baru. Jika ditinjau kembali, banyak yang mendukung Amber ketika dirinya mengaku menjadi korban. Ini merupakan hal positif untuk percaya dan mendukung korban. Ketika kebenaran terungkap, hampir seluruh warganet pun menarik dukungan terhadap dirinya. Selain itu, ini juga membuka diskursus baru tentang bagaimana laki-laki bisa menjadi korban,” ujar perempuan berumur 20 tahun tersebut.
Dirinya juga menambahkan dibutuhkan edukasi terhadap perempuan khususnya yang berada di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut dilakukan agar mereka lebih sadar tentang cara menghadapi kekerasan dalam bentuk apapun.
“Untuk menciptakan awareness tentu diperlukan edukasi. Terutama untuk mereka yang berada di situasi kemiskinan karena mereka lebih rentan. Perlu adanya edukasi mengenai apa itu kekerasan, bagaimana bentuknya, dan bagaimana pemulihannya. Semua pihak harus paham dalam kasus kekerasan, korban merupakan fokus utama sehingga kepentingan korban harus didahului,” tutur Farrah ketika dihubungi melalui direct message Twitter.
Penulis : Mohammad Rizky Fabian
Editor : Annisya Asri
Комментарии