Sumber foto: transitionandthrivewithmaria.com
Sosial media adalah hal yang dekat dengan rutinitasku sehari-hari. Ditambah dengan tuntutan pekerjaanku sebagai pedagang di sebuah online shop, hal yang membuatku selalu aktif dalam membalas pesan dari customer melalui sosial media. Kala pandemi Covid-19 juga menambah keaktifanku untuk menggunakan gawai demi mengikuti kuliah online dan mendapatkan informasi terbaru seputar tugas.
Lingkungan pertemananku memandang diriku sebagai orang yang fast respon dan aktif untuk mengunggah suatu konten di sosial media, khususnya Instagram. Aku memang sering kali mengunggah foto-foto ke Instagram ketika bertemu dengan teman-teman, pergi ke tempat wisata, serta makanan dan minuman kesukaanku. Hal ini merupakan bentuk dalam mengekspresikan diriku melalui sosial media.
Hingga pada bulan puasa, aku berencana untuk membelikan bingkisan untuk teman-teman terdekatku sebagai bentuk perayaan Idul Fitri bersama di kala pandemi. Mengingat bahwa lockdown membatasiku untuk berpergian dan tahun ini tidak ada rencana untuk berbuka puasa dengan teman-teman.
Teman-temanku senang sekali ketika menerima bingkisan dan mereka mengapresiasiku melalui sebuah unggahan foto di sosial media dengan menyebut namaku di dalam unggahan mereka. Otomatis unggahan dari mereka bisa aku upload ke dalam akunku sebagai tanggapan dariku mengenai bingkisan tersebut.
Namun hal yang mengejutkan terjadi, tetanggaku merespon story yang aku unggah melalui Instagram, “aku engga dapet hampers ni Al?” Seketika aku bingung, aku pun bertanya dalam hati “sedekat apa aku dengannya?” Hal ini terus membuatku bertanya-tanya dalam hati hingga selalu terpikirkan ketika di malam hari ketika aku akan beristirahat.
Apakah aku salah ketika mengunggah konten tersebut sementara orang-orang di sosial media juga menginginkannya? Aku pun mencoba untuk menanyakan unggahan tersebut kepada keluargaku namun mereka juga tidak menyalahkan tindakanku selagi itu merupakan bentuk kebahagiaanku di sosial media.
Baca juga : Tenggelam dalam Ilusi Standar Kecantikan
Padahal aku terbilang bukan dari keluarga yang berada. Akan tetapi, mengapa publik memandangku sebagai sultan dan setiap harinya hanya bersenang-senang? Percaya atau tidak percaya, aku merupakan orang yang pemikir, sekalinya hal itu menyentilku. Setiap hari selalu terbayang di pikiranku untuk mencari sebuah solusi yang sekiranya bisa aku lakukan. Hingga akunku di Instagram kuubah menjadi mode private dan menghapus seluruh postingan feed di Instagram.
Akhirnya aku pun mengalah dengan keadaan, keesokan harinya aku membeli sebuah makanan di minimarket dekat rumah dan memberikannya kepada tetanggaku sebagai bentuk pemuas batin agar tidak selalu terbayang-bayang akan hal tersebut.
Memang caraku salah, aku pun menyadari hal itu setelah bercerita dengan teman-teman terdekatku. Seharusnya aku tidak perlu memikirkan kebahagiaan seluruh manusia di muka bumi. Toh, semua orang juga belum tentu peduli dengan keadaanmu yang sesungguhnya.
Kemudian aku mengambil hikmah dari permasalahan tersebut bahwa kita menjadi manusia tidak bisa membahagiakan semua orang di dunia. Termasuk orang-orang yang berada di sosial media, karena sejatinya kita sebagai manusia itu yang terpenting adalah tidak merugikan orang lain dan tetap melakukan yang terbaik untuk lingkungan di sekitarmu. Semangat bagi pejuang overthinking! (AR)
Tulisan ini merupakan pengalaman dari sahabat rekampuan. Nama disamarkan sesuai dengan keinginan penyintas.
Editor : Hammam Izzuddin
Comments