top of page
Search
Writer's pictureRedaksi Rekampuan

Diskriminasi di Balik Tes Keperawanan Bagi Calon Abdi Negara


Sumber foto : Kompas.com


Tes keperawanan memang masih menjadi polemik di masyarakat karena dianggap melanggar hak asasi perempuan. Human Rights Watch (HRW) mencatat tes keperawanan masih dilakukan pada seleksi pasukan keamanan di Mesir, India, Afganistan, dan Indonesia. Bagi calon anggota Polri dan TNI baru, tes ini menjadi syarat mutlak khususnya bagi calon personil perempuan.


Dianggap Tak Ilmiah


Sudah sejak lama praktik tersebut sempat menjadi sorotan publik karena dianggap pemeriksaannya yang tidak ilmiah. Dilansir dari Kumparan, dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) memaparkan bahwa tak ada istilah "tes keperawanan" dalam dunia kedokteran.


“Secara medis, saya sendiri tidak pernah menemukan referensi ‘tes keperawanan’, tekniknya seperti apa, dilakukan pada orang yang seperti apa, hasilnya seperti apa, saya sendiri tidak pernah menemukan,” ungkap dokter yang berpraktik di RS Ibu Anak Limijati Bandung.


Kepolisian dan militer mengklaim bahwa tes ini perlu dilakukan guna mengukur moralitas calon Polisi Wanita (Polwan). Wanita yang mendaftar ke militer Indonesia telah menjadi sasaran praktik invasif dengan keyakinan bahwa hal itu akan menentukan apakah mereka aktif secara seksual dan karena itu akan menentukan apakah mereka “bermoral” dan “layak bertugas.”



Tes keperawanan adalah pelanggaran berat hak perempuan atas kesetaraan. Bentuk tes ini berupa pemeriksaan himen (hymen), yaitu jaringan kulit sangat tipis yang melapisi bukaan vagina perempuan. Pada instansi kepolisian dan militer, pemeriksaan hymen lewat "tes dua jari". Metode yang dilakukan tersebut tidak memiliki dasar ilmiah, malah justru cenderung mengintimidasi dan mempermalukan perempuan yang ingin menggapai cita-cita menjadi seorang perwira angkatan.


Tes keperawanan dinyatakan sebagai pelanggaran HAM, karena dianggap menjatuhkan martabat perempuan dan merusak fisik serta mental mereka. Pada pasal 7 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta pasal 16 Konvensi Menentang Penyiksaan, keduanya telah diratifikasi Indonesia. Komite HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa pasal 7 untuk "melindungi martabat dan integritas individu, baik secara fisik maupun mental."


Sebelumnya pada 2017 silam, Jokowi pernah memerintahkan Kepala Polisi Indonesia dan Panglima Tentara Nasional Indonesia untuk segera menghapus "tes keperawanan" terhadap para perempuan yang melamar ke kesatuan masing-masing, namun sejumlah perwira senior polisi dan militer melapor kepada Human Rights Watch (HRW) bahwa institusi tempat mereka bekerja masih menerapkan tes yang keji dan diskriminatif itu. Mereka menerangkan bahwa secara internal, tes tersebut dilakukkan sebagai bagian dari "pemeriksaan psikologis" dengan alasan "mental dan kepribadian.


Dilansir dari HRW.org, tak adanya langkah tegas dari pemerintah menunjukkan ketiadaan upaya untuk melindungi hak perempuan Indonesia. "Pembiaran pemerintah Indonesia terhadap 'tes keperawanan' yang semena-mena oleh angkatan-angkatan ini mencerminkan ketiadaan itikad politik buat melindungi hak perempuan Indonesia," ujar Nisha Varia, direktur advokasi Human Rights Watch dari divisi hak perempuan.


"Tes tersebut diskriminatif, melecehkan perempuan, serta menghalangi akses setara bagi perempuan untuk memiliki pekerjaan penting," tambahnya.


Pengalaman Mereka Hadapi Tes Keperawanan


Pada 2018 media Australia Boardcasting Corporatition (ABC) menerbitkan laporan tentang tes keperawanan yang membuat perempuan bernama Zakia gagal pada seleksi Polwan. Secara khusus Zakia mengeluhkan prosedur tes yang ia jalani. "Mereka tidak hanya memasukkan jari mereka ke vagina saya, tetapi juga ke anus saya. Mereka terus memeriksa... itu sangat menyakitkan," katanya soal “tes keperawanan” tersebut, sebagaimana dikutip dari ABC.


Rekampuan juga sempat mewawancarai Rani Gusman yang berhasil lolos seleksi Bintara Polisi dan sudah diangkat menjadi Polwan pada 2019 lalu. Ia mengaku bahwa dirinya hanya bisa pasrah meski tak nyaman pada saat menjalani tes keperawanan tersebut. “ya mau gimana lagi, memang itu persyaratannya,” ujar perempuan 20 tahun tersebut. Ia menambahkan bahwa tes tersebut merupakan tes tahap 1 kesehatan.


Sangat disayangkan apabila tes keperawanan yang sudah puluhan tahun dijalankan pada instansi tertentu masih diterapkan di Indonesia. Seharusnya pemerintah bisa lebih tegas dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Ketimpangan gender yang ditandai adanya tes khusus bagi perempuan pada instansi tertentu membuktikan bahwa Indonesia masih rendah dalam menjunjung tinggi kesetaraan gender.


Penulis : Annisa Aulia

Editor : Hammam Izzuddin

24 views0 comments

Comments


bottom of page