Sumber foto : Hidayatullah.com
Cadar merupakan penutup wajah yang digunakan perempuan muslim. Umumnya, cadar digunakan dengan menutup seluruh wajah kecuali kedua mata, bersamaan dengan jilbab dan baju kurung panjang menutup seluruh tubuh, serta didominasi oleh warna gelap. Dibalik tujuan penggunaannya untuk melindungi diri dari tindak pelecehan seksual, ternyata cadar juga menyimpan berbagai stigma dan kontroversi yang menimbulkan ruang sudut bagi pemakainya.
Berdasarkan penelitian dalam Jurnal Hubungan Antara Prasangka Masyarakat Terhadap Muslimah Bercadar Dengan Jarak Sosial, secara umum prasangka masyarakat terhadap muslimah bercadar tinggi. Artinya, masyarakat memiliki pandangan negatif dengan kelompok perempuan bercadar. Adanya pandangan negatif tersebut kerap kali membuat perempuan pengguna cadar sering dihindari bahkan ditakuti oleh masyarakat.
Baca juga : Diskriminasi di Balik Tes Keperawanan
Nur Rahmatika Utari (20), seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta telah memutuskan untuk menggunakan cadar sejak tahun 2015 lalu. Berbagai stigma atau penilaian negatif harus ia hadapi hingga sekarang. Bahkan, ia juga sering mendapatkan penolakan dari orang terdekat.
“Saya sering menerima penghinaan dari orang terdekat, dibilang ikut aliran sesat, teroris, bermacam-macam,” jelasnya melalui Whatsapp Sabtu (28/11).
Pengalaman yang sama juga terjadi oleh Mulyati (36). Dalam kesehariannya, tak jarang anak kecil memanggilnya dengan sebutan ninja, hingga teroris. Hingga ada juga yang menangis ketakutan saat melihat dirinya yang menggunakan cadar.
“Iya sering saya mendapatkan macam-macam julukan dari anak-anak. Tetapi saya menganggap itu hal yang wajar, karena mereka belum mengerti agama yang sesungguhnya,” tambahnya.
Penggunaan cadar sebenarnya bukan hanya mengenai bagaimana seseorang berbusana. Cadar juga dijadikan sebagai ekspresi identitas keagamaan. Oleh karena itu, kemunculan perdebatan antar ulama bukan karena sekedar wajib atau tidaknya seseorang menggunakan cadar. Akan tetapi, juga terkait dengan kesesuaian cara berpakaian dalam konteks budaya di Indonesia.
Kontroversi penggunaan cadar semakin diperkuat dengan kemunculan perempuan bercadar di media yang kemudian dikaitkan dengan tindak kejahatan teroris. Seringkali media menelusuri lebih dalam siapa saja istri dari pelaku terorisme yang kebanyakan menggunakan pakaian cadar. Akibatnya, muncul stigma perempuan bercadar memiliki kaitan dengan haluan pemikiran garis keras yang berpotensi mendukung aksi terorisme.
Menurut Lintang Ratri dalam jurnalnya yang berjudul Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim (2011), fenomena para perempuan bercadar yang kerap muncul dalam liputan tentang Iraq Syiria Islamic State (ISIS) yang digambarkan oleh media secara global sebagai kelompok teroris juga membuat perempuan bercadar di Indonesia tersudut atas propaganda yang muncul tersebut.
Ketakutan adanya keterlibatan perempuan bercadar juga mengarah pada kemungkinan gerakan radikalisme. Ketakutan tersebut pun menjalar hingga ke beberapa instansi perguruan tinggi. Seperti yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Suka). Pihak kampus mengeluarkan surat keputusan Senin (5/3/2018) silam mengenai larangan bagi mahasiswi menggunakan cadar. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan untuk mencegah meluasnya aliran Islam anti-Pancasila. Namun, beberapa hari kemudian, larangan tersebut telah dicabut oleh pihak kampus demi menjaga suasana pembelajaran yang kondusif.
Melihat adanya berbagai penolakan dari masyarakat, perempuan bercadar kerap dihantui oleh pilihan, antara mempertahankan pelindungnya tersebut atau melepaskannya. Begitu pun yang terjadi dengan salah satu mahasiswa perguruan tinggi di Jakarta, Khoediejah Huwriyyatuljannah (20). Orang tua Khoediejah yang selalu ragu untuk memberikan ijin untuk menggunakan cadar menjadi alasan mengapa ia baru mulai berani menggunakan cadar lima bulan yang lalu. Keraguan tersebut muncul akibat adanya kekhawatiran mereka akan susahnya mencari pekerjaan jika Khodiejah menggunakan cadar.
“Alhamdulillah sampai saat ini belum ada pikiran untuk melepaskan (cadar). Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk bekerja di suatu instansi yang memiliki aturan terikat. Aku ingin bekerja di tempat yang lebih bebas. Jadi kemungkinan saya untuk melepaskan cadar kecil sekali,” terang Khoedijah saat kami hubungi melalui pesan Whatsapp Sabtu (28/11).
Penulis : Fatika Febrianti
Editor : Hammam Izzuddin
Comments