Ilustrasi Gerakan Metoo yang pelecehan dan kekerasan seksual di sekolah dan tempat kerja
Sumber foto : unothegateaway.com
Kekerasan seksual masih menjadi masalah yang harus dihadapi oleh perempuan setiap harinya. Mulai dari harassment di media sosial hingga perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja, banyak bentuk kekerasan seksual yang mengancam perempuan. Gerakan Me Too Movement pun dibuat agar penyintas memiliki ruang untuk menyampaikan pengalaman tanpa ada penghakiman dari masyarakat. Lalu, seberapa efektifkah gerakan tersebut?
Gerakan Me Too lahir pada tahun 2006 oleh Tarana Burke. Tarana Burke merupakan seorang aktivis sosial yang kerap menyuarakan kekerasan seksual di masyarakat melalui media sosial Myspace. Ia menggunakan frase #metoo untuk meningkatkan kesadaran serta membuat penyintas tidak merasa sendirian.
Tarana Burke, pendiri gerakan Metoo di media sosial Myspace
Sumber foto : insp.go
Selain isu kekerasan seksual, gerakan ini juga didasari atas kekhawatiran Tana akan masalah sistemik lainnya. Masalah tersebut secara tidak proporsional, berdampak pada orang-orang yang terpinggirkan terutama wanita dan gadis berkulit hitam.
Gerakan ini booming setelah beberapa aktris di Hollywood menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang mereka alami. Kekerasan seksual tersebut terjadi di tempat/set pembuatan film. Industri film Hollywood pun menjadi perhatian publik akibat beberapa tuduhan terhadap sejumlah produser dan sutradara.
Dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh Maryville University, gerakan ini populer setelah Alyssa Milano mengunggah tagar #MeToo, yang kini menjadi tren di media sosial Twitter dan Instagram. Tindakan Milano merupakan tanggapan atas sejumlah perempuan di Hollywood yang membuka tentang pengalaman mereka sendiri. Banyak dari tuduhan kasus pelecehan seksual dilayangkan kepada produser film terkenal Harvey Weinstein.
Gerakan Me Too berfokus pada dua jenis perilaku yaitu pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Meskipun definisi hukum dari dua istilah ini berbeda di berbagai negara, kedua perilaku ini umumnya dipahami pada perilaku seksual tertentu yang tidak pantas dan tidak diinginkan oleh salah satu pihak. Gerakan ini juga berfokus pada kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja atau sekolah.
Efektifitas dari gerakan ini pun terlihat dengan banyaknya penyintas yang mulai berani menyuarakan pengalamannya. Persepsi media tentang kekerasan seksual juga mulai berubah. Selain itu, budaya victim blaming yang menghantui para penyintas juga perlahan menghilang.
Beberapa keberhasilan tadi disampaikan dalam laporan Metoo. Impact Report yang dirilis pada akhir tahun 2019. Beberapa keberhasilan gerakan Metoo dalam budaya media adalah pengangkatan isu kekerasan seksual dan ketidakadilan di kanal media massal.
Surviving R. Kelly, dokuseri tentang sejarah penyanyi R&B R. Kelly dan pelecehan seksual yang ia lakukan terhadap wanita dan gadis di bawah umur, ditayangkan perdana di Lifetime. Tarana Burke adalah salah satu penyelenggara yang ditampilkan dalam film dengan tiga bagian tersebut.
Selama penayangannya dokuseri tersebut, tweet ‘Metoo’ juga menjadi trending untuk mendukung pemirsa yang mungkin pernah mengalami pelecehan seksual. Docuseries tersebut berhasil menggeser fokus dari para penyintas ke pelaku. Secara keseluruhan, Surviving R. Kelly berhasil mengumpulkan lebih dari 2,1 juta penonton.
Baca Juga : Viridiana Alvarez, Pemecah Rekor Mendaki Dunia
Gerakan tersebut, dengan beberapa organisasi juga telah meningkatkan kesadaran akan masalah di tempat kerja seperti kekerasan seksual dan penindasan secara sistemik. Pelatihan pencegahan kekerasan seksual juga kini diadakan oleh beberapa perusahaan. Hal ini merupakan suatu upaya untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan baik di sekolah maupun di tempat kerja.
Institusi akademik di beberapa negara juga mulai mempelajari gerakan 'Metoo'. Beberapa universitas menerbitkan antologi, dan merancang diskursus yang melihat persimpangan sosio-ekonomi dan politik dari kekerasan seksual. Selain itu, cara perawatan kekerasan seksual juga mulai dipelajari berdasarkan ras, kelas, dan jenis kelamin korban.
Berdasarkan jurnal dengan judul The Effects of Social Movements: Evidence from #MeToo, Gerakan tersebut meningkatkan pelaporan kejahatan seksual sebesar 10% selama enam bulan pertama. Peningkatan tersebut terjadi secara konsisten dan bertahan selama 15 bulan. Selain itu, jurnal yang diterbitkan oleh Ro’ee Levy dan Martin Mattsson tersebut menunjukan
kami menunjukkan bahwa gerakan tersebut juga meningkatkan penangkapan atas kejahatan seksual dalam jangka panjang.
Meskipun gerakan terebut belum populer di Indonesia, manfaat tersebut dapat dirasakan oleh perempuan Indonesia. Farrahdila Segeir, perempuan yang sempat menyinggung masalah gerakan Metoo di media sosial mengatakan masyarakat kini semakin sadar akan masalah kekerasan seksual. Hal ini dikarenakan gerakan Metoo yang diamplifikasi oleh artis-artis terkemuka di Hollywood.
“Saya bisa dibilang menjadi lebih aware dengan adanya gerakan Metoo. Walaupun sebelum adanya gerakan tersebut saya sudah concern, tetapi di lingkungan saya sendiri banyak yang jadi sadar akan masalah tersebut. Terlebih hal tersebut disuarakan oleh artis-artis kan, amplifikasinya sangat besar,” ujar Farrah ketika dihubungi via Direct Message Twitter.
Akan tetapi, dirinya sadar belum ada perubahan secara struktural di Indonesia dengan adanya gerakan tersebut. faktor geografis menjadi salah satu alasan mengapa gerakan tersebut belum popular di sini. Selain itu, isu kekerasan seksual yang masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah juga menjadi salah satu contoh tidak adanya perubahan struktural.
“Kalo secara struktural tidak ada ngaruhnya. Tapi menurut saya di Indonesia khususnya Jakarta banyak yang mulai tahu akan keberadaan gerakan tersebut. mungkin karena gerakan Metoo terpusat di Amerika jadi belum begitu ramai. RUU PKS yang belum juga disahkan menjadi salah satu tanda bahwa banyak yang peduli akan isunya,” ujar Farrah.
Hal senada juga disampaikan oleh Eni Nurhayati. Perempuan kelahiran Tangerang, Banten tersebut mengatakan dirinya menjadi lebih sadar akan kekerasan seksual yang kerap menimpa perempuan. Ia juga mengatakan hadirnya gerakan Metoo juga dapat membuat perempuan lebih berani dalam melaporkan kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpanya.
“Awalnya kurang tau sih apa saja bentuk pelecehan seksual. Berkat gerakan ini jadi tahu kalau catcalling dan labelling perempuan dengan kata sifat itu termasuk bentuk pelecehan. Menurutku bagus sih karena nantinya kita (perempuan) tidak merasa sendiri dalam menghadapi kasus pelecehan yang menimpa kita.” Ujar perempuan yang kerap disapa Eni tersebut.
Ia juga menganggap gerakan ini cukup berhasil dalam mengangkat kasus pelecehan di tempat kerja. Meski baru populer di Amerika, ia berharap agar masyarakat Indonesia juga turut berpartisipasi dalam gerakan tersebut.
“Aku sempat ngikutin kasus Harvey Weinstein kemarin dan menurutku berhasil karena dia dipecat. Belum lama ini Ellen DeGeneres juga kena tuduhan yang sama di tempat kerja. Menurutku gerakan ini harus diikuti semua masyrakat Indonesia karena aku yakin banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja yang tidak diangkat oleh media,” ujar perempuan yang kini berusia 23 tahun.
Penulis : Mohamad Rizky Fabian
Editor : Annisya Asri
Commentaires